
“Perasaan adalah musuh tugas, Chūsa Takeyama. Setiap kali kau menutupinya, setiap kali kau mengalihkan perhatian komando, kau menempatkan nyawa prajurit lain dalam risiko. Kau tahu itu.”
Arasaki melanjutkan, suaranya kini lebih rendah, lebih menusuk.
“Seorang wanita lokal takkan mengubah arah perang. Tapi desertir satu Takeyama... bisa menghancurkan seluruh satuan.”
Souta menelan ludah, tangan di sisi tubuhnya mengepal secara refleks.
Suara Arasaki bergetar sedikit di ujung nada, tetapi masih keras. “Jika Shōi Takeyama melakukan satu langkah salah, aku tidak akan ragu. Peluru akan menebus ketidakpatuhannya, dan kau… kau akan berdiri menonton.”
Souta tidak berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena setiap kata yang diucapkan saat ini akan dia timbang dengan presisi samurai.
“Taisa… saya… saya tidak bermaksud—”
Arasaki mengangkat tangan, gerakan sederhana tapi mematikan. “Diam. Aku tidak ingin alasan. Aku ingin kepastian. Aku ingin kau menegakkan disiplin, bukan mengizinkan kelemahan manusia meracuni markas ini. Apakah kau mengerti?”
“Ya… Taisa,” jawab Souta serak, nada patuh sepenuhnya. Tubuhnya kaku, setiap urat tegang menahan rasa benci terhadap kenyataan.
Arasaki mengambil langkah maju, suaranya menurunkan intensitas sedikit, tapi beratnya tetap menusuk. “Aku memberimu kesempatan terakhir, Takeyama. Jangan membuatku menyesal memberimu posisi ini.”
Souta hanya bisa mengangguk, lalu keluar dari ruangan itu dengan tubuh yang terasa kaku. Ia tahu, setiap keputusan yang diambil hari ini akan membekas seumur hidup. Melindungi adiknya berarti mengkhianati komando. Mengikuti perintah berarti mungkin menghancurkan hubungan darah yang ia jaga sejak kecil.
Saat berada di luar, seorang prajurit bawahannya menghampiri, memberikan laporan dengan suara berbisik, “Chūsa, tidak ada petunjuk lagi. Jejak mereka hilang di hutan, mungkin terbawa arus sungai.”
Sebuah raungan frustrasi lolos dari mulut Souta. Amarah yang ditahannya di hadapan Arasaki kini meledak. Ia meraih kerah prajurit itu, mencengkeramnya kuat-kuat.
“Bagaimana mungkin?! Sudah berhari-hari kalian mencari! Apakah kalian tidak melihat betapa pentingnya dia?!” teriaknya. Prajurit itu hanya menunduk ketakutan.
Souta mendorongnya, lalu menatap semua prajurit di hadapannya dengan mata yang memerah. Ia tidak lagi melihat mereka sebagai bawahan, tetapi sebagai alat untuk melampiaskan kemarahannya pada Renji.