Renji tidak membuang waktu. Ia langsung melompat ke dalam arus, mencoba meraih Senara. Namun, ia lupa kalau ia bukanlah perenang hebat. Ia adalah tentara angkatan darat, bukan marinir.
Ia hanyut terbawa arus, berusaha mengayunkan tangan, tetapi gerakannya tidak efektif. Napasnya tercekat, air masuk ke hidungnya, dan ia panik.
Di sisi lain, Senara pun sedang berjuang. Tubuhnya terhantam batu, paru-parunya dipenuhi air. Tapi ia masih bisa berenang. Ingatannya tentang masa kecil di sungai kampungnya menolong. Meski badannya lemah, insting itu muncul.
Matanya mencari, panik, hingga ia melihat sekilas tubuh Renji yang terseret arus lebih jauh.
“Renjiii!” suaranya parau, hampir tenggelam oleh deru air.
Renji berusaha mengapung, tapi jelas terlihat... ia tidak pandai berenang. Tangan dan kakinya mengayuh kacau, kepalanya tenggelam-timbul.
Senara menggigil ngeri. Adakah yang lebih menakutkan daripada kehilangan satu-satunya orang yang kini berarti baginya? Rasa takut itu mengalahkan rasa sakit, mengalahkan lemah di tubuhnya.
Dengan sisa tenaga, ia berenang mengejar Renji. Berkali-kali hampir tenggelam, berkali-kali terbentur batu, tapi ia tidak peduli.
“Renji, jangan panik!” teriak Senara, suaranya nyaris hilang di antara deru air. “Aku akan ke sana!”
Renji melihatnya. Ia melihat tekad di mata Senara. Ia melihat ketakutan, tetapi juga keberanian yang luar biasa. Ia tahu Senara adalah gadis desa yang terbiasa dengan sungai. Sementara ia, seorang prajurit yang terlatih untuk perang, tak berdaya melawan alam.
Tubuhnya terbentur batu-batu, lukanya kembali terbuka. Ia merasakan sakit, tetapi ketakutan akan kehilangan Senara jauh lebih besar. Ia kembali tenggelam, menelan air.
“Bertahanlah, Renji!” bisik Senara pada dirinya sendiri.
Ia berenang dengan seluruh kekuatannya, mengejar Renji yang kini terbawa arus. Tidak peduli jika ia demam atau lelah. Tangannya terasa beku, tetapi ia tidak menyerah.
Akhirnya arus membawa mereka ke bagian sungai yang lebih tenang, seperti kolam besar di tepi tikungan. Renji masih lemah, matanya setengah terpejam, hampir menyerah.
Senara menggapai, dan kali ini tangannya berhasil meraih lengan mengapung Renji.
“Renji! Bangun! Jangan menyerah!” teriaknya dengan suara serak.
Ia meraih bahu pria itu, lalu dengan sekuat tenaga menyeretnya ke tepi. Air terasa semakin berat, tubuhnya sendiri hampir tak kuat, tetapi Senara menggigit bibir hingga berdarah, menolak melepaskan.
Mereka akhirnya tiba di tepi sungai, terhempas di atas lumpur dan rerumputan basah. Tubuh Senara gemetar hebat, tapi tangannya masih menahan Renji erat.
Renji terbatuk keras, memuntahkan air sungai. Matanya terbuka samar, menatap wajah Senara yang basah oleh air sungai dan air mata.
“...Nara-chan…” suaranya lirih, nyaris tidak terdengar.
Senara yang kini berlutut di sampingnya, memegang wajahnya dengan kedua tangan yang basah dan dingin.