
Di pondok tua itu, di tengah hutan yang gelap, mereka menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan. Mereka menemukan harapan baru.
Renji merasa, untuk pertama kalinya sejak ia memutuskan kabur dari segala kewajiban militernya, ia tidak lagi sendirian. Senara bukan hanya beban yang harus ia bawa. Ia adalah cahaya, alasan untuk terus maju.
Sementara Senara, meski tubuhnya masih sakit, merasa hatinya kuat. Ia tahu dunia di luar masih penuh bahaya. Tentara masih mengejar. Kematian bisa datang kapan saja. Tapi malam itu, di pondok reyot dengan nyala api kecil, ia merasa seolah mereka memiliki dunia milik mereka sendiri—tempat di mana cinta bisa bersemi meski di tengah kehancuran.
“Renji…” suara Senara pelan, nyaris tenggelam dalam suara api.
“Mm...?”
“Kalau besok… atau lusa… kita harus berlari lagi. Dan aku tidak kuat… tinggalkan aku.”
Renji menoleh tajam, matanya berkilat. “Jangan pernah katakan itu lagi.”
Senara terdiam.
Renji mengangkat dagu Senara hingga sorot mata mereka bersinggungan. Tatapannya menusuk, membuat Senara tak sanggup menahan air matanya. “Aku lebih baik mati bersamamu, daripada hidup tanpamu. Mengerti?”
Isakan kecil lolos dari bibir Senara. Ia menunduk, lalu tanpa ragu memeluk dada Renji. “Kalau begitu… ayo kita hidup. Bersama.”
Renji menutup mata, membiarkan beban yang menekan dadanya sedikit menguap. Ia merangkul Senara, mendekapnya erat seakan dunia bisa hancur kapan saja, tapi malam itu, hanya mereka berdua yang ada.
Api berkelip, angin berdesir di celah-celah dinding kayu, dan di luar sana hutan tetap bergemuruh. Tapi di dalam pondok tua itu, dua hati menemukan rumahnya.
Malam itu api kecil di tungku pondok berderak, menebarkan cahaya jingga ke wajah Renji dan Senara. Kehangatan sederhana itu bagaikan pelukan yang mereka butuhkan setelah hari-hari panjang penuh ketakutan. Senara tertidur di sisi Renji, kepalanya menggunakan lengan lelaki itu sebagai bantal. Rambut hitamnya yang masih sedikit basah terurai lembut, menempel di tangan Renji. Nafasnya teratur, wajahnya tampak damai meski tubuhnya masih lemah.
Renji menatapnya lama, lalu menyentuh helai rambut Senara dengan hati-hati. “Aku akan melindungimu, Nara-chan… apa pun caranya,” bisiknya pelan. Ia tahu gadis itu tidak mendengar, tapi hatinya merasa lebih tenang setelah mengucapkannya.
***
Keesokan paginya, kabut tipis menyelimuti hutan. Burung-burung mulai berkicau, dan cahaya matahari menembus sela-sela daun, jatuh di dinding pondok reyot itu. Renji bangkit lebih dulu. Ia menyiapkan rencana kecil yang sejak semalam bergema di kepalanya.