Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #58

Bahagia yang Cukup



Mereka tidak bisa terus berada di dalam. Sinar matahari di luar terasa mengundang.

Renji menarik pelan tangan Senara. “Ayo. Kita cari makan bersama. Aku tidak ingin kau bosan di pondok.”

Senara menatapnya ragu. “Apa tidak berbahaya?”

Renji menatap dalam. “Selama kau bersamaku, tidak ada yang perlu kau takutkan.”

Renji mengambil katana-nya, tidak untuk bertarung, tetapi untuk memotong ranting dan daun. Senara mengambil keranjang yang tadi ia buat dari anyaman daun-daun lebar.

Hutan menyambut dengan aroma tanah basah dan suara kicauan burung. Mereka berjalan beriringan, tangan mereka saling bertautan. Tapi mata Senara lebih sering jatuh ke punggung Renji yang tegap.

Sesekali, ia tersandung akar, dan tanpa menoleh pun Renji sudah menyodorkan tangan untuk menahannya. “Hati-hati, Nara-chan.”

Senara mengangguk cepat, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. “Y-ya.”

Setelah hampir satu jam, keranjang mereka mulai terisi umbi liar, buah merah kecil yang aman, dan beberapa daun yang aromanya segar. Senara tersenyum puas, tangannya sedikit kotor tanah. “Aku tidak menyangka… ternyata mencari makanan bisa menyenangkan juga.”

Renji menoleh, mengangkat alis. “Menyenangkan karena hasilnya, atau karena kau bersamaku?”

“Re—Renji!” Senara gugup, wajahnya langsung memerah.

Renji hanya terkekeh pelan, lalu melanjutkan langkah seolah tak terjadi apa-apa.

Dalam perjalanan pulang, mereka berhenti di sungai dangkal yang airnya jernih. Arusnya tenang, batu-batu di dasarnya tampak jelas. Renji menurunkan keranjang, lalu berjongkok, menciduk air dengan kedua telapak tangannya dan membasuh wajah.

“Segar sekali. Sudah lama aku tidak mandi. Rasanya lengket,” gumamnya. Ia menoleh ke Senara. “Kau juga harus mandi, Nara-chan. Sejak kemarin kau belum benar-benar membersihkan diri.”

Senara menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Renji benar. Tubuhnya gatal oleh keringat, rambutnya masih menyimpan debu perjalanan. Tapi saat melihat Renji melepas kemejanya tanpa ragu, dada bidang itu terekspos, otot-ototnya jelas meski tidak berlebihan… Senara segera memalingkan wajah dengan jantung berdebar tak karuan.

“Eh? Kau… kau mau mandi di sini?” suaranya meninggi.

Renji menatapnya dengan ekspresi datar. “Kalau tidak di sini, di mana lagi? Sungai ini bersih. Dan tenang saja, aku tidak akan melihat kalau kau malu.”

Senara menunduk, jantungnya berdebar kencang. Ia tidak berani menatap Renji.

“Kau tidak ikut?” tanya Renji.

Senara menggeleng pelan. “Aku…”

Renji mendekat, menempelkan telapak tangannya di pipi Senara. “Kau tak perlu malu, Nara-chan. Kau milikku. Dan aku… milikmu.”

Lihat selengkapnya