Malam itu, hujan turun lagi.
Hujan yang sama seperti hari pertama mereka bertemu, seperti takdir yang terus berulang. Pondok bekas pemburu itu menjadi saksi dua tubuh yang menggigil, terjebak dalam basah dan dingin yang menusuk tulang.
Renji duduk bersandar di sudut bilik, menatap kosong ke celah bambu yang meneteskan air. Bajunya setengah kering, rambutnya masih meneteskan sisa hujan yang baru saja menghantam mereka dalam perjalanan pulang. Di dekatnya, Senara meringkuk, tubuhnya gemetar kecil sambil memeluk lutut. Giginya berbunyi lirih, beradu tanpa bisa dikendalikan.
“Nara-chan,” panggil Renji pelan, suaranya serak karena udara dingin. Ia menoleh, menatap gadis itu dengan mata sayu tapi penuh perhatian. “Kau kedinginan?”
Senara menunduk, mencoba tersenyum. “Aku… baik-baik saja.”
“Jangan bohong.”
Ia menghela napas, lalu merangkak mendekat. Tubuhnya sendiri masih beku, tapi melihat Senara seperti itu membuat dadanya sesak. Tanpa banyak bicara, ia membuka selimut lusuh satu-satunya yang mereka punya, lalu menepuk dadanya.
“Ke sini.”
Senara menggeleng cepat, pipinya merona meski dingin membekukan wajah. “Tidak apa-apa, aku—”
“Ke sini, Nara-chan.” Kali ini suaranya lebih tegas, meski tetap lembut. “Biar hangat.”
Akhirnya, dengan ragu Senara merangkak mendekat. Ia menyelip ke dalam pelukan Renji, tubuh dinginnya bersentuhan langsung dengan dada hangat pria itu. Jantungnya berdegup tak terkendali, bukan hanya karena suhu tubuh yang berubah, melainkan karena jarak yang kini lenyap. Ia bisa merasakan napas Renji di rambutnya, kasar dan berat.
“Apa seperti ini kau melindungi semua orang?” bisik Senara, mencoba menutupi kegugupannya dengan bercanda. Suaranya gemetar, entah karena dingin atau sesuatu yang lain.
Renji menunduk, dagunya bersandar lembut di puncak kepala Senara. “Tidak semua orang,” jawabnya nyaris tak terdengar. “Hanya kau.”
Senara terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada dingin yang mencekam tubuhnya. Tangannya perlahan bergerak, ragu-ragu, lalu berhenti di dada Renji. Ia bisa merasakan detak jantungnya—kuat, tak beraturan. Sama seperti dirinya.
Mereka terdiam lama. Hanya suara hujan yang mengisi ruang sempit itu.
Suasana di antara mereka berubah. Awalnya hanya ingin mencari hangat, tapi kehangatan itu merambat menjadi sesuatu yang lain. Nafas Renji yang semula stabil kini terdengar berat. Tangannya, yang awalnya hanya melingkari punggung Senara untuk menghangatkan, kini menyadari setiap lekuk tubuh gadis itu dengan jelas. Aroma rambut basahnya, kulitnya yang dingin, semuanya membuat Renji tegang dengan cara yang berbeda.
“Nara-chan…” gumamnya, parau.