
Suara burung-burung hutan bersahutan dari kejauhan, bersatu dengan desir angin yang menyapu dedaunan dan ranting kering. Renji baru saja kembali dari sisi barat bukit, membawa seikat kayu bakar di bahunya. Ia menunduk sejenak di samping pondok kecil mereka yang tersembunyi di balik semak dan pepohonan. Namun sebelum ia sempat menaruh kayu-kayu itu, sebuah jeritan terdengar dari dalam gubuk.
“Nara-chan?”
Nada cemas sontak menyeruak dari bibirnya. Ia menjatuhkan kayu bakar itu, menarik katana-nya, dan bergegas menerobos masuk. Nafasnya tertahan.
Pondok itu sepi, hanya ada keheningan yang aneh. Renji mengerutkan kening. “Nara-chan?!” panggilnya, suaranya dipenuhi kecemasan.
Ia berbalik, menatap ke arah pintu yang baru saja ia lewati. Matanya melebar, dan katana di tangannya terasa sangat berat.
Senara berdiri di balik pintu, tubuhnya hanya dibalut sehelai kain tipis yang melingkar dari dada hingga paha. Dan bahkan kain itu pun tampak longgar, seolah siap terlepas kapan saja. Wajahnya memerah, matanya menantang, berkilat seperti bara api dalam gelap.
Senara mengangkat tangannya, lalu perlahan menutup pintu, mengunci mereka berdua di dalam pondok.
Renji terpaku di tempatnya dengan nafas tercekat. Matanya membelalak, sementara kata-kata yang ingin keluar tertahan di tenggorokan.
“Nara-chan…” bisiknya, pelan. “Apa yang—”
Senara tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke matanya. Lalu jemarinya yang halus bergerak perlahan… membuka lilitan kain itu dari tubuhnya.
Renji menahan napas, menelan ludah. Tubuhnya kaku.
Senara menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis. Senyum itu bukan lagi senyum malu-malu, melainkan senyum seorang perempuan yang sadar penuh akan daya pikatnya.
“Kau terlihat... tegang, Renji.” Suaranya lirih, namun menusuk, seakan sengaja mempermainkan udara di antara mereka.
Kain itu akhirnya terlepas dari tubuhnya, jatuh ke lantai tanpa suara. Dalam sekejap, tubuhnya terbuka. Renji tak berkedip.
“Jangan...,” ucap Renji, setengah memohon, setengah menahan diri.
Senara melangkah mendekat, matanya tidak pernah lepas dari Renji. Wajah Renji pucat pasi, tubuhnya gemetar. Bukan karena takut, tapi karena gelombang emosi yang tiba-tiba melanda.
Senara berhenti di depan Renji. Ia mengangkat tangannya, lalu dengan lembut mengambil katana dari tangan Renji—menjatuhkannya ke lantai. Suara logam yang berdentang di atas papan kayu adalah satu-satunya suara di antara mereka, memecah keheningan yang menyesakkan. Itu adalah sebuah pernyataan... bahwa Renji kini tidak lagi menjadi seorang prajurit. Di hadapannya, ia hanya seorang kekasih.
“Renji…” Senara akhirnya membuka suara, lembut. “Kau sudah terlalu lama menjauh dariku.”
“Aku takut… menyakitimu,” ucapnya tertahan. “Ada anak kita di dalam tubuhmu.” Suara Renji bergetar. Ia masih berdiri, seolah-olah mendekat akan membakar dirinya.