Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #61

Para Pemburu Dayak

Pagi itu hutan terasa lembap. Embun masih menggantung di pucuk daun, sementara matahari yang baru terbit hanya mampu menembus sedikit celah di antara pepohonan. Renji sedang sibuk menata batu-batu di tepi sungai untuk mempermudah Senara mencuci pakaian.

Tiba-tiba, Renji merasakan hawa dingin di tengkuknya. Ia yang sudah terbiasa dengan sunyi hutan, menangkap sesuatu yang lain—suara ranting patah, langkah kaki lebih dari dua orang. Naluri prajuritnya menegang. Ia menoleh cepat ke arah Senara.

Senara yang sedang berjongkok tak jauh darinya, juga merasakan hal yang sama. Ia memandang Renji, dan matanya melebar.

“Bersiap,” bisik Renji singkat.

Senara mengerutkan kening. Badannya menegang. “Apa—”

​Tiga orang laki-laki berdiri di belakang mereka, memegang mandau dan tombak. Mereka tidak berbicara, hanya menatap Renji dengan pandangan yang tajam dan dingin. Salah satu dari mereka memanggul seekor rusa kecil, darah segar masih menetes dari tubuh hewan itu.

Renji menarik napas panjang. Pemburu Dayak.

Ia berdiri perlahan.

​Salah satu pemuda Dayak itu, Jau, mengangkat tombaknya. Menggeram rendah. “Urakng Jepang,” desisnya dengan mata menyala.

Renji semakin waspada. Meski lawannya bicara dalam bahasa daerah, ia tahu, kalau pemuda itu jelas tak menyukai dirinya yang merupakan seorang prajurit Jepang.

"Aku mengenali pedang di pinggangmu," katanya lagi, suaranya dipenuhi amarah. "Kau salah satu dari mereka."

​Renji tidak bereaksi. Tangannya mengepal, siap bertarung jika diperlukan. Ia melirik ke Senara, yang kini berdiri di depannya.

Jau melangkah maju, wajahnya penuh kebencian. "Kami tidak takut padamu," katanya, suaranya semakin keras. "Tapi kami akan memastikan kau tidak bisa menyakiti siapa pun lagi."

​"Tunggu, Jau," kata seorang pemuda lain, Ero, yang membawa sumpit panjang di bahunya, dengan tabung bambu berisi anak sumpit tergantung di pinggang. "Kita harus mendengarkan Apa’."

Tubuh Senara gemetar. “Renji…”

Renji menegakkan punggungnya perlahan, tidak meraih katana yang ada di pinggang, melainkan mengangkat kedua tangannya sedikit, memperlihatkan dirinya tidak berniat menyerang.

Pemuda lain dengan tubuh paling tinggi di antara rombongan itu, bernama Lukas, wajahnya keras, sorot matanya penuh bara dendam, melangkah maju. “Kau… yang membakar kampung-kampung kami? Yang membantai saudara-saudara kami di Mandor?”

Renji menelan ludah, suaranya rendah. “Aku tidak…”

Lukas menggeram. Tanpa aba-aba, ia langsung melompat maju, menghantam dada Renji dengan keras. Renji terjengkang ke tanah.

Lihat selengkapnya