Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #62

Pangkat yang Mati

Dengan nafas berat, Renji meraih katana itu. Tangannya mengusap gagang yang penuh goresan, lalu memegangnya dengan kedua tangan. Ia menunduk dalam, mempersembahkannya ke arah Apa’ Bujang.

“Ini… satu-satunya senjataku. Pistolku sudah tak berguna, pelurunya habis. Jika aku menyerahkannya, aku… hanya manusia biasa. Tapi… demi dia, aku akan lakukan.”

Apa’ Bujang menerima katana itu. Berat logamnya seakan jadi saksi. Ia mengangguk tipis. “Mulai hari ini, kami akan mengawasi kalian. Jika kau berkhianat… jika kau menyentuh perempuan ini dengan kekejaman… kami akan datang, dan kami tidak akan segan-segan menebas lehermu dengan pedangmu sendiri.”

Renji menunduk. “Aku mengerti.”

Senara terisak, wajahnya menempel di dada Renji.

Lukas mendengus, masih marah, tapi tak berani melawan kata-kata Apa’ Bujang. Ero dan Jau hanya diam, meski sorot mata mereka penuh rasa tidak suka.

Apa’ Bujang memberi isyarat, rombongan itu pun berbalik. Suara langkah mereka semakin menjauh, menelan hening hutan.

Tinggallah Renji dan Senara, dengan nafas tak beraturan, hati campur aduk. Renji kehilangan katana-nya. Senara kehilangan rasa aman. Namun di antara ketakutan itu, ada sesuatu yang bertahan. Mereka masih bersama.

Renji menutup mata, membiarkan Senara memeluknya. Bisikan lirih keluar dari bibirnya yang pecah dan berdarah.

“Selama kau di sisiku, Nara-chan… aku tak butuh senjata.”

Senara menggenggam wajahnya, menatapnya dengan mata basah. “Dan selama kau ada di sisiku, Renji… aku tak peduli siapa pun yang ingin menyebutku pengkhianat.”

Hutan kembali sunyi. Tapi kini, sunyi itu membawa peringatan. Mereka kini tidak lagi sendirian.

**

Siang ini terasa senyap, tapi juga terasa tidak wajar. Senara sedang mengumpulkan ranting kering, sementara Renji sibuk menajamkan ujung batang bambu dengan belati kecilnya untuk dijadikan tombak—senjata seadanya untuk berjaga. Udara lembap, suara serangga nyaring di sela pepohonan.

Tiba-tiba, langkah berat terdengar dari balik semak. Renji merasakan sesuatu yang membuat insting prajuritnya berteriak. Ia menoleh, dan saat itu juga, enam sosok berseragam hijau-cokelat muncul dari balik bayangan hutan.

Senara terlonjak, ranting-ranting di tangannya jatuh berderak ke tanah.

Renji membeku. Nafasnya tercekat.

Mereka prajurit Jepang.

Enam orang, lengkap dengan senapan Arisaka, belati, dan tatapan yang tajam.

Yang berjalan paling depan, sorot matanya dingin, dagunya terangkat penuh wibawa, adalah seorang Sōchō—Sersan Mayor.

Lihat selengkapnya