Hayashi berdiri di sisi Senara. Tangannya mengelus wajah gadis itu dengan perlahan, hampir mesra, padahal tatapannya penuh hinaan. Ia lalu menoleh ke Renji, memastikan setiap detik tertangkap mata pria yang dulu perwiranya itu.
“Cantik sekali…” katanya pelan. “Tak heran kau rela membuang seragam Kaisar hanya demi dia. Tapi…” ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinga Senara. “…kecantikan seperti ini terlalu berharga untuk dinikmati satu orang saja, bukan? Kau terlalu serakah ingin menikmatinya sendiri.”
Renji meronta sampai urat lehernya menonjol. “Aku akan bunuh kalian semua!!!”
Hayashi menoleh santai, seolah makian itu angin lalu. “Setelah kami bawa kau pulang, Shōi… kira-kira apa yang harus kami lakukan padanya? Gadis secantik ini… mati sia-sia rasanya. Kalau dijadikan ianfu... ah, aku yakin dia akan sangat populer. Bagaimana kalau kami bawa dia pulang juga ke sana? Untuk penyemangat tentara yang lain.”
Senara menjerit keras, mencoba melawan meski tubuhnya tertahan. “Jangan!!”
Renji meronta, hampir mematahkan bahu sendiri. “Aku mohon!! Jangan sakiti dia! Bunuh aku saja!!” Suaranya pecah, hampir seperti tangisan.
Hayashi tersenyum tipis. “Tenanglah, Shōi. Kau akan menonton pertunjukan ini dari jarak yang sangat dekat.”
Dengan isyarat tangan, Senara ditarik ke depan Renji. Hanya berjarak kurang dari dua meter, dipaksa rebah di tanah. Ia mencoba menutup tubuhnya, tapi dua prajurit itu menarik tangannya ke samping.
Renji berusaha merangkak maju, tapi tubuhnya ditindih tiga orang. Napasnya terengah, air matanya menetes. “Berhenti… aku mohon…”
Dengan satu gerakan kasar, Hayashi meraih baju kurung Senara dan merobeknya dari depan. Kain terbelah, memperlihatkan kemban yang menutupi dada hingga atas pusarnya. Senara menjerit malu, wajahnya merah dan tubuhnya menggeliat, berusaha melepaskan diri.
“Tidak!! Jangan lihat dia!!” Renji meraung, mencoba menundukkan wajah, tapi kepalanya dipaksa tetap terangkat ke atas.
Ia tidak terima Senara diperlakukan seperti itu. Gadis itu miliknya, dan yang boleh melihat seluruh tubuh Senara hanya dia.
Hayashi menatap Renji, matanya berkilat puas. “Rasakan, Shōi. Perempuan ini bukan milikmu. Tidak ada milik bagi seorang pengkhianat.”
Ia menurunkan pandangan ke tubuh Senara, matanya berhenti pada perut gadis itu yang tampak menonjol. Alisnya terangkat. Ia menunduk, menyentuh dengan telapak tangan.
Senara tersentak, tubuhnya menegang. “Jangan… jangan sentuh!”
Hayashi tertawa. Tawanya terdengar kejam dan dingin. “Ohh... apa ini, Shōi?” teriaknya, menoleh ke arah Renji.
Ia menunjuk perut Senara dengan jarinya. “Kau hebat sekali. Belum sebulan desersi, tapi sudah menanam benih di sini.” Ia menepuk-nepuk perut Senara dengan kasar, membuat gadis itu menjerit kesakitan. Memohon agar ia berhenti.