Cahaya baja itu melewati sisi wajah Senara, hanya setengah jengkal dari kulit halusnya.
Menancap tepat di pelipis Jiro.
Tubuh prajurit itu terhuyung seakan waktu melambat, matanya membelalak kaget, lalu ambruk ke tanah, menarik Senara bersamanya. Darah segar mengalir deras, mengotori tanah lembap hutan.
Senara terlepas, jatuh berlutut, terisak ketakutan.
Daichi yang tersisa langsung mengangkat senapan, niatnya menembak Renji meski dalam kepanikan. Namun gerakannya terlambat—Renji sudah berada tepat di hadapannya.
Dengan satu sapuan tangan kosong, Renji menghantam popor senapan itu ke samping, membuat larasnya terpelintir. Di saat yang sama, tangan lain meraih pisau milik Daichi.
Bilah itu berkilat.
Daichi hanya sempat mengeluarkan pekikan pendek sebelum pisau menembus tenggorokannya dari bawah rahang, menancap ke atas hingga darah menyembur bersama napas terakhirnya.
Tubuhnya tersentak, lalu roboh dengan mata kosong menatap langit hutan.
Hanya hitungan detik.
Riku, Masaru, Hajime, Jiro, Daichi—lima orang prajurit Jepang—mati.
Semuanya terbunuh tanpa Renji mengucapkan sepatah kata pun.
Senara menjerit. Jeritan itu bukan lagi karena takut, melainkan karena kengerian yang ia rasakan. Ia melihat Renji tidak lagi seperti Renji yang ia kenal. Matanya kosong, dipenuhi amarah yang buta, dan tubuhnya bergerak dengan naluri yang dingin dan mematikan.
Di seberang sana, Lukas, Ero, dan Jau yang baru saja turun dari pohon, tercengang. Ketiganya sudah siap membantu, tapi langsung terkejut melihat pergerakan Renji. Mereka baru saja melihat bagaimana Renji yang sebelumnya dihajar habis-habisan, kini balik membantai lima prajurit dalam waktu singkat, dengan efisien, dan tanpa ragu.
Para pemuda itu hanya bisa saling pandang, sambil melihat darah membasahi tangan Renji, dan merasakan api di matanya. Mereka belum pernah melihat sesuatu seperti ini. Renji lebih dari sekadar pemburu atau prajurit, ia adalah mesin pembunuh yang sadis.
Hayashi berdiri membeku. Napasnya tercekat. Ia baru saja menyaksikan lima anak buahnya dihabisi seolah mereka bukan prajurit terlatih, melainkan boneka kayu.
Hutan yang tadi bergaung dengan suara ejekan dan jeritan kini hanya menyisakan desah napas berat Renji.
Ia berdiri tegak, tubuhnya berlumur darah musuh, matanya merah, tajam, menatap lurus pada Hayashi.
Senara tersungkur di tanah, tubuhnya dipeluk Uwe’ Lami yang langsung menjatuhkan kain untuk menutupi bahunya yang terbuka. Senara terisak, tapi matanya tak lepas dari sosok Renji yang kini lebih menyerupai iblis pembantai daripada manusia.
Para pemburu Dayak yang lain—Apa’ Bujang, Lukas, Ero, Jau—berhenti di tempat. Mereka sudah siap menyerang sejak tadi, mandau diangkat tinggi. Namun mereka tidak sempat mengayunkan senjata. Belum sempat membunuh satu pun musuh.
Karena Renji sudah melakukannya.
Sendirian.
Dengan kecepatan dan ketepatan yang tak masuk akal.
Yang tersisa kini hanya dua orang. Renji, yang berdiri di tengah genangan darah dengan tubuh berlumur merah… dan Hayashi Masato, sang Sōchō, yang untuk pertama kali dalam hidupnya merasa dingin menjalari tulang belakangnya.
Mata mereka bertemu.
Sunyi.