Senara ada di sana, dengan wajah yang basah oleh air mata, tapi tatapannya pada Renji penuh permohonan.
Renji menarik napas panjang. Perlahan, ia melepaskan katana itu dari genggaman. Bilahnya jatuh di atas tubuh Hayashi yang tenggelam dalam genangan darahnya sendiri.
Sunyi.
Hanya ada suara napas berat, bau anyir, dan tatapan hutan yang menjadi saksi.
Para pemburu Dayak berdiri diam. Apa’ Bujang hanya mengangguk pelan, seakan maklum. Tapi Lukas, Ero, dan Jau saling melirik dengan wajah pucat. Mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang nyaris tak bisa mereka percayai—seorang pria melumat habis enam prajurit Jepang sendirian.
Renji berdiri perlahan. Tubuhnya berlumuran darah musuh, wajahnya lebam, tangannya gemetar. Tapi matanya tetap merah, menatap Senara.
Ia akhirnya melangkah, perlahan, terhuyung, menuju kekasihnya.
Kakinya terasa berat, tertatih di awal, seakan setiap jejak menambah beban di dada. Matanya tak lepas dari Senara.
Tapi tak sampai tiga langkah kemudian, ia berlari.
“Nara-chan!!” suaranya pecah, hampir seperti jeritan.
Senara terlonjak, dan dalam sekejap tubuhnya terhimpit dalam pelukan Renji. Pria itu mengurung tubuhnya begitu erat, seolah dunia bisa merenggut ruang mereka kapan saja. Nafas Renji tersengal, tubuhnya bergetar hebat.
Air mata jatuh deras dari mata itu, membasahi bahu Senara.
“Gomen… gomen nasai, Nara-chan…” suaranya parau, menuturkan permintaan maaf dengan terputus-putus.
“Aku… aku gagal melindungimu. Mereka… mereka menyentuhmu… aku biarkan itu terjadi… aku… baka da…” Renji memaki dirinya sendiri. Bodoh. Ia menyebut dirinya bajingan tolol yang tak bisa menjaga orang yang paling ia cintai.
Tubuh Renji merosot, hingga terduduk di tanah, tapi pelukannya tak pernah lepas. Senara masih syok, bibirnya bergetar, tapi tangannya perlahan bergerak—menyentuh rambut Renji, mengelusnya dengan lembut, meski jari-jarinya gemetar.
Renji memegangi wajahnya dengan satu tangan. “Aku… aku monster, Nara-chan… Kau lihat sendiri… tanganku ini…” ia menatap telapak tangannya, berlapis darah musuh. Jemarinya gemetar. “Aku bunuh mereka… Kau tidak seharusnya melihat itu… Kau pasti takut padaku sekarang…”
Senara hanya menggeleng pelan, meski matanya masih berkaca-kaca.
Tangisnya pecah lagi. Ia menunduk, menekan wajahnya ke pangkuan Senara. “Aku mesin pembunuh… tidak pantas untukmu…”
Senara menutup matanya, menahan isak. Ia tak bisa bicara banyak—suara tercekat di tenggorokan. Tapi tangannya tetap mengelus rambut Renji, sesekali menepuk pelan, berusaha menyalurkan kehangatan lewat sentuhan.