Lukas menunjuk ke lubang pertama yang mereka gali. Renji berjalan, lalu menurunkan tubuh Riku dengan hati-hati. Ia tidak kasar. Justru memperlakukan tubuh itu dengan hormat. Senara menyaksikan semua, tangannya gemetar. Hatinya perih melihat Renji menanggung rasa sakit itu sendirian.
Satu per satu, Renji menurunkan jasad itu ke lubang. Riku, Masaru, Hajime, Jiro, Daichi, hingga terakhir—Hayashi. Setiap kali ia mengangkat satu tubuh, wajahnya semakin muram, cahaya matanya semakin gelap. Senara hanya bisa menggigit bibir menahan tangis, menyaksikan Renji seperti memikul beban yang jauh lebih berat daripada tubuh manusia.
Lukas berhenti menggali, diam-diam memperhatikan. Ada rasa aneh yang muncul—campuran kagum dan ngeri.
Ero berbisik lirih, “Kau lihat matanya? Dia seakan mengubur dirinya sendiri.”
Lukas menoleh cepat, menegurnya dengan tatapan, lalu kembali bekerja.
Ketika keenam tubuh itu sudah terbaring di lubang dangkal, Apa’ Bujang maju. Ia berdiri di tepi lubang, memandang hening ke arah mayat-mayat itu. Lengan tuanya yang penuh tato berotot terangkat, dan dengan suara lirih ia menggumamkan doa singkat dalam bahasa Dayak. Uwe’ Lami berdiri di sampingnya, ikut menundukkan kepala, bibirnya bergerak pelan seperti sedang mendoakan arwah-arwah itu agar tak gentayangan.
Renji menunduk, kedua tangannya bertumpu di tanah. Air matanya menetes, jatuh ke lumpur yang sudah bercampur darah. Ia tidak berdoa—ia tahu ia tidak berhak. Tapi dalam hatinya, ia hanya mengulang satu kalimat. ‘Aku monster. Ore wa akuma da’.
Kata-kata itu menggema di kepalanya, hinaan yang ia tujukan pada dirinya sendiri.
Senara melangkah mendekat, meletakkan tangannya di bahu Renji, berusaha memberi kekuatan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menunduk bersama.
Ketika doa selesai, Apa’ Bujang memberi isyarat. Lukas, Ero, dan Jau mulai menimbun tubuh-tubuh itu dengan tanah dan daun-daun kering. Suara tanah yang jatuh menimbulkan bunyi tumpul, menutup satu per satu wajah yang pernah menjadi saudara seperjuangan Renji.
Suasana terasa semakin berat. Hanya suara cangkulan seadanya dan burung hutan yang memecah keheningan.
Saat lubang tertutup penuh, Apa’ Bujang menusukkan mandau ke tanah di atasnya sebagai penanda. Bukan tanda penghormatan, melainkan tanda bahaya bagi siapa pun yang lewat. “Biar roh mereka tahu, tanah ini bukan milik mereka lagi,” katanya datar.
Renji memejamkan mata. Ia tahu, dirinya yang seharusnya berada di lubang itu.
***
Hutan itu diselimuti keheningan yang menyesakkan. Matahari sore menembus celah dedaunan, menciptakan garis-garis cahaya keemasan yang menari di antara pepohonan. Aroma anyir darah masih mengambang di udara, berpadu dengan kelembapan tanah yang basah.
Senara berlutut, tangannya gemetar saat memeras air dari kain bersih, lalu dengan perlahan membasuhnya ke luka-luka di wajah Renji. Pria itu diam, matanya terpejam, sesekali merintih lirih saat sentuhan Senara mengenai luka-luka lebam yang menghitam. Wajahnya yang tampan kini rusak, bibirnya pecah, pelipisnya robek. Luka-luka itu adalah bekas dari keputusasaan dan kemarahan yang meluap-luap.