Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #67

Bersamamu, atau Mati

Uwe’ Lami yang sedari tadi diam, akhirnya maju selangkah. Tangannya hangat menepuk bahu Renji.

“Aku mendengar kata hatimu,” katanya dengan suara berat. “Kau lebih manusia dari banyak manusia lain. Kau rela menyerahkan dirimu, demi perempuan ini. Tapi kau lihat, kan?” bisiknya, suaranya penuh kebijaksanaan. “Ia tidak akan meninggalkanmu.”

Renji mendongak sedikit, matanya merah. Tapi sebelum ia bisa bicara, Apa’ Bujang akhirnya angkat suara.

“Kau ingin kami membawanya? Kau ingin kami melindunginya?” suaranya dalam, penuh wibawa. “Kau tahu apa artinya itu, Tentara? Itu bukan hanya soal dia. Itu menyangkut seluruh kampung kami. Kalau orang Jepang tahu, mereka akan datang. Membakar rumah kami, membunuh anak-anak kami. Kau mengerti?”

Renji menunduk lagi. “Aku tahu…” suaranya parau. “Itu sebabnya… aku tidak meminta ikut. Aku hanya... ingin dia yang diselamatkan.”

Senara langsung menggeleng, air matanya jatuh deras. “Tidak! Aku tetap di sini denganmu! Aku tidak mau dipisahkan lagi! Tidak peduli kampung atau hutan, aku hanya mau bersamamu!”

Apa’ Bujang memandang lama ke arah Senara, lalu menghela napas panjang. “Perempuan ini keras hati.”

Ia menoleh ke Uwe’ Lami, seakan meminta pendapat.

Uwe’ Lami hanya mengangguk pelan. “Biar tetua adat yang menimbang." 

Apa’ Bujang menghela napas lagi, lalu menatap Renji dengan sorot tajam. “Dengar. Aku tak bisa bawa kalian begitu saja tanpa izin tetua. Itu akan mencelakakan kami semua.” 

Renji menunduk semakin dalam. Ia tahu permintaannya bukan sesuatu yang sederhana.

“Tapi…” lanjut Apa’ Bujang, “...kami juga tidak bisa membiarkan perempuan ini—apalagi sedang hamil—tinggal di hutan sendirian bersama seorang tentara yang diburu Jepang. Kalian sudah terlalu banyak menumpahkan darah. Ini akan menarik perhatian yang lebih besar.”

Ia menundukkan kepala sedikit, seakan memberi keputusan yang berat.

“Kalian berdua boleh ikut. Tapi hanya sampai aku bicara dengan tetua.”

Mata Senara langsung berbinar, meski masih basah air mata. Ia menggenggam tangan Renji erat-erat, takut mendengar lanjutan kalimat itu.

Renji sendiri menahan napas, wajahnya pucat, tapi ia menunggu.

“Senara,” lanjut Apa’ Bujang. “Kau boleh tinggal bersama para perempuan kampung. Kau sedang hamil, kami akan menjagamu. Itu sudah menjadi tanggung jawab kami.”

Apa’ Bujang melanjutkan, suaranya berat.

“Tapi kau, Tentara… kau tidak bisa langsung masuk. Kau orang Jepang. Sekalipun kau melindungi perempuan ini, kau tetap musuh di mata banyak orang. Jadi kau akan ditempatkan terpisah, di pinggir hutan kampung. Ada pondok kosong. Itu tempatmu.”

Lihat selengkapnya