Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #68

Gerbang Penghakiman

Mereka terus berjalan. Cahaya matahari makin redup, berganti dengan bayangan senja. Suara hutan perlahan kembali muncul. Burung yang bersahutan, serangga yang berdengung, dedaunan yang bergoyang. Tapi rombongan itu tetap hening, seakan masing-masing larut dalam pikiran sendiri.

Di kepala Renji, bayangan tusukan, jeritan, dan darah tadi masih jelas. Tangannya sendiri seolah masih merasakan hangatnya darah musuh yang ia bunuh. Ia tidak pernah ingin Senara melihatnya seperti itu—monster yang terbiasa membunuh. Tapi kini semua sudah terlanjur.

Sementara Senara, di setiap langkahnya, hanya punya satu ketakutan... bahwa Renji akan kembali bicara tentang memisahkan diri darinya. Ia menggenggam tangannya lebih erat, seakan setiap genggaman adalah simpul tali yang mengikat mereka.

Dan di depan sana, Apa’ Bujang dan Uwe’ Lami melangkah tanpa kata. Mereka tahu perjalanan ini bukan hanya menuju kampung—tetapi menuju ujian besar. Kampung mereka akan segera diuji. Apakah menerima atau menolak seorang pengkhianat Jepang yang menyerahkan hidupnya hanya demi seorang perempuan.

Hening itu panjang, tapi setiap orang membawa bebannya masing-masing.

Rombongan itu terus melangkah, menembus hutan yang kian pekat. Berderap melewati semak dan batang pohon besar. Senja makin merayap, menyusup di sela dedaunan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak mengikuti mereka.

Saat matahari hampir lenyap di balik pucuk-pucuk pohon, Apa’ Bujang mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti. Rombongan itu pun mengendap ke sebuah tanah lapang kecil di bawah pohon beringin tua.

“Di sini kita rehat sebentar,” katanya singkat.

Semua duduk, sebagian bersandar pada batang pohon. Uwe’ Lami menyalakan puntung rokok linting, asapnya tipis melayang di udara.

Renji memejamkan mata, membiarkan tubuhnya yang lelah terbebas dari beban. Senara mengambil tempat di sampingnya, lalu merebahkan kepala di bahu Renji. Kehangatan tubuh Senara adalah satu-satunya hal yang terasa nyata bagi Renji saat itu.

Dalam keheningan, Renji membuka mata, mengamati sekeliling. Matanya yang tajam, terlatih untuk mengamati musuh, kini mengamati wajah-wajah para pemburu yang akan menjadi “keluarganya” yang baru.

Di hadapannya, Lukas duduk bersila, menunduk, bibirnya masih manyun setelah dimarahi Apa’ Bujang tadi. Usianya tampak sekitar delapan belas tahun. Tubuhnya tegap, kulitnya kecokelatan, dan rambut hitam lurusnya dipotong pendek. Di lengannya tampak bekas-bekas luka lama, mungkin dari latihan berburu. Sorot matanya keras, tapi masih lugu—seperti anak muda yang ingin selalu membuktikan diri.

Renji melihat bagaimana sejak tadi Lukas mengamati dirinya dari balik tatapan ragu. Ada kekaguman yang tersembunyi, tetapi juga ada kewaspadaan yang tersisa.

Di sebelah Lukas, Ero mengunyah batang serai kecil sambil menahan senyum. Usianya sedikit lebih muda, mungkin enam belas atau tujuh belas. Tubuhnya tidak setegap Lukas, tapi matanya tajam, nakal, penuh rasa ingin tahu. Ada bekas coretan arang di pipinya, entah dari tadi berburu atau sekadar iseng. Geraknya lincah, tapi jelas ia lebih sering bercanda daripada serius.

Lihat selengkapnya