Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #69

Tatapan Kampung

Apa’ Bujang berhenti beberapa langkah di depan gerbang. Ia menoleh, wajahnya hanya separuh terlihat oleh cahaya obor.

​“Kita sudah sampai,” katanya, suaranya datar tapi berwibawa. “Dengar baik-baik. Senara akan ikut ke rumah Radakng. Ia akan tinggal bersama para perempuan di sana.”

Lalu, ia menoleh ke arah Renji. “Dan kau, Tentara… akan kubawa ke pondok di hutan pinggir kampung. Itu tempatmu.”

Renji tidak protes. Ia hanya menundukkan wajahnya, menerima setiap kata itu dengan pasrah. Di lubuk hati, ia tahu inilah perlakuan yang paling pantas untuknya—ia tak berhak berharap lebih.

Senara terdiam. Wajahnya pucat diterangi cahaya api, matanya berkilat basah. Ia menatap Renji, bibirnya bergetar, lalu tiba-tiba air mata mengalir pelan di pipinya. Jemari yang menggenggam tangan Renji semakin kuat, gemetar, seakan ingin menyalurkan semua ketakutannya melalui genggaman itu.

Renji menoleh, menatap wajah Senara. Ada kilatan luka dalam hatinya melihat air mata itu. Dengan lembut, ia membalikkan tubuh dan menghadap Senara. Tangannya terangkat, mengusap air mata dari pipi gadis itu.

“Nara-chan…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh yang lain. Nafasnya membelai telinga Senara. “Dengarkan aku… ini hanya sebentar. Aku tak apa-apa… demi kau dan anak kita, percayalah.”

Tangan Senara mencengkeram kuat baju Renji, basah oleh air matanya.

“Jangan bicara begitu… aku takut…” suaranya parau, putus-putus. “Kalau kau pergi… aku takut kau tak kembali.”

Renji menutup mata, menahan air matanya sendiri. Ia mengecup kening Senara, lama sekali, seperti ingin menanamkan seluruh jiwanya ke dalam tubuh gadis itu.

“Aku menunggumu,” katanya akhirnya, suara parau namun tegas. “Aku tak akan pergi ke mana pun. Aku tetap di sana… sampai kau datang.”

Senara tersedu, tubuhnya bergetar. Dan sebelum ia benar-benar melepas, bibir mereka sempat bertemu—ciuman yang getir, penuh rasa takut sekaligus keputusasaan. Bukan ciuman gairah, melainkan janji sunyi bahwa sekalipun dunia memisahkan mereka, hati mereka tidak akan.

Lukas, yang berdiri di belakang, melirik pemandangan itu dengan wajah masam. “Sudah bagus kau tidak dibiarkan mati di hutan, Tentara.”

Ero meliriknya cepat, hendak menahan komentar itu, tapi Lukas sudah terlanjur bicara. Jau hanya menghela napas, sorot matanya menatap Renji lama, seakan menimbang sesuatu.

Uwe’ Lami akhirnya maju, mendekat ke arah Senara. Suaranya berat tapi lembut, seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya.

“Anakku, jangan takut. Pondok itu dekat. Kalian tidak berpisah jauh. Kau akan lihat dia lagi, setiap hari kalau kau mau.”

Senara hanya bisa mengangguk kecil, pipinya basah. Ia tidak ingin lepas, tapi genggaman Renji mulai mengendur. Lelaki itu dengan lembut melepaskan jemarinya, meski tubuhnya sendiri terasa ingin runtuh.

Lihat selengkapnya