Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #70

Tempat Buangan

Senara menunduk, pipinya masih basah. Ia tahu mereka menatapnya. Menilai. Menghakimi. Tapi ia tidak mampu menjawab satu pun.

Uwe’ Lami mendekat, meletakkan tangan hangat di punggungnya. “Duduklah, anakku. Kau lelah. Di sini kau aman.”

Senara menurut, duduk di tikar panjang. Tubuhnya lunglai, matanya hanya bisa mencari-cari arah pondok hutan di kejauhan, meski dinding kayu menghalangi.

Malam itu, ia tidak tidur. Ia hanya menggenggam perutnya erat, berbisik lirih, “Ayahmu ada di dekat kita… jangan takut…”

Di pondok, Renji juga tidak tidur. Ia duduk sendirian, menatap gelap di luar pintu.

Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terasing.

Bukan di medan perang.

Bukan di markas musuh.

Tapi di sini—di tanah asing, dekat orang-orang yang membencinya, dan jauh dari perempuan yang ia cintai.

Malam itu merayap panjang, seolah tak berujung.

Dan bagi Renji maupun Senara, perpisahan itu lebih menyakitkan daripada luka di tubuh.

***

Pagi merayap perlahan di tepian hutan. Kabut tipis menggantung rendah, menyelimuti batang-batang pohon yang basah oleh embun. Dari celah dinding papan pondok, cahaya putih keperakan menembus, membangunkan Renji dari tidur setengah sadar.

Sebenarnya ia tak benar-benar tidur. Matanya sempat terpejam, tetapi bayangan pertempuran kemarin terus menindihnya. Wajah Riku, teriakan prajurit-prajurit muda yang tumbang di tangannya—semuanya datang silih berganti. Setiap kali terjaga, ia mendengar suara hutan, lalu teringat pada Senara.

Renji bangkit pelan, duduk bersila di atas tikar anyaman. Tubuhnya pegal, tulang-tulangnya seperti retak setelah perjalanan panjang. Ia mengusap wajah, merasakan bekas luka di pelipisnya yang mulai mengering. Nafasnya berat.

Di pojok, tungku tanah masih menyisakan bara merah samar, sisa api semalam. Ia menatapnya lama, lalu menghela napas. Api itu adalah satu-satunya tanda bahwa ia masih punya kendali atas hidupnya—sesuatu yang rapuh, tapi nyata.

Renji berdiri, melangkah ke luar pondok. Embun masih menempel di rerumputan. Udara pagi dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah. Dari kejauhan, ia bisa melihat atap rumah panjang yang menjulang di balik kabut, samar-samar terlihat seperti bayangan raksasa.

Suara ranting patah membuatnya menoleh. Dari arah jalan setapak, sosok muda muncul dengan langkah tergesa. Lukas.

Lihat selengkapnya