“Kita tidak usir dia, tapi kita juga tidak terima dia. Biarkan dia di pondok. Biarkan dia hidup atau mati dengan caranya. Jika ia benar berbeda, jika ia sungguh bisa menjaga perempuan itu, waktu akan membuktikan. Jika tidak, hutan akan menelan dia seperti menelan siapa saja yang lemah.”
Beberapa tetua mengangguk, beberapa mendengus tidak puas. Namun suara Apa’ Bide adalah suara terakhir.
Apa’ Bujang menghela napas, lalu menunduk. “Baik. Akan kulakukan seperti yang kau katakan.”
Musyawarah malam itu berakhir tanpa sorak, tanpa tepuk tangan. Hanya kepulan asap damar yang makin pekat, dan wajah-wajah yang masih menyimpan curiga.
Senara, yang duduk di ujung ruangan bersama perempuan lain, menggenggam lututnya erat. Ia mendengar semua. Kata-kata “biar hutan menelannya” menusuk dalam dada. Air matanya jatuh diam-diam, disembunyikan di balik rambutnya yang tergerai.
Di pondoknya, Renji menatap api kecil yang masih menyala di tungku. Ia tidak tahu apa yang diputuskan di rumah panjang malam itu. Tapi entah kenapa, dadanya terasa sesak, seperti ada kabar buruk yang merambat lewat angin.
Ia menggenggam tombak kayu di sampingnya, lalu berbisik lirih, seakan Senara bisa mendengarnya dari kejauhan.
“Biar mereka menolakku, Nara-chan. Asal kau percaya… aku tetap menunggu di sini.”
***
Kabut pagi masih menggantung di antara batang-batang pohon ulin, menyelimuti seperti selimut putih. Di luar pondok, hutan Kalimantan terbangun dari tidurnya yang gelap. Udara dingin dan lembap. Dari kejauhan terdengar suara burung enggang memecah kesunyian, seperti genderang yang mengawali sebuah perburuan.
Renji berdiri di depan pondok, tubuhnya tegak, tombak kayu sederhana dalam genggaman. Matanya menatap hutan yang berkabut. Pakaiannya sederhana, hanya celana kain cokelat dan baju kemeja putih yang tipis.
Dari balik kabut, suara langkah berat terdengar. Lukas muncul, bahunya tegak, mandau terselip di pinggang, dan sumpit panjang ia bawa di tangan.
Wajahnya datar, dingin. Ia melemparkan sebuah tas kain berisi bekal di kaki Renji tanpa ekspresi.
“Oi, Tentara, kau siap?” suara Lukas kering, seperti ranting yang patah.
Renji hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Wajah Lukas masih dipenuhi prasangka.
“Jangan sampai aku harus menggendongmu pulang. Hutan ini bukan tempat untuk orang yang lemah.”
Renji menunduk sedikit, tidak tersinggung. Hanya suaranya yang pelan, nyaris seperti bisikan.
“Pagi.”