Renji terdiam, lalu menoleh pada Lukas. “Mata, Lukas,” bisiknya. “Mata manusia hanya melihat apa yang ada di depannya. Mata prajurit... melihat apa yang tersembunyi. Tadi, hanya ada pilihan... menghindari perang, atau mati.”
Lukas menelan ludah. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukan, bukan tentang perburuan, tetapi tentang perang itu sendiri.
Akhirnya, ia bersuara lirih, nyaris seperti anak kecil yang bertanya.
“Dalam perang… apa semua orang Jepang... diajari cara membunuh... secepat itu?”
Renji menunduk. Ada bayangan kelam melintas di wajahnya. “Kami diajari cara bertahan. Tapi aku… memilih bertahan demi seseorang. Bukan demi perang.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Sunyi, tapi berat, seolah hutan pun ikut mendengarkannya.
Lukas menatap Renji lama sekali. Sorot matanya masih keras, namun ada sesuatu yang bergeser di dalamnya.
Ia menarik sudut bibir, lebih mirip menahan sesuatu daripada benar-benar tersenyum. “Jangan kira ini membuatmu jadi urakng kampung kami. Tapi…” Lukas berhenti sebentar, lalu menunduk tipis. “…kau bukan urakng biasa.”
Renji tidak menjawab. Ia hanya memandang ke arah hutan, dadanya naik turun, seperti menahan sesuatu di sana. Lukas, tanpa sadar, ikut berdiri di sampingnya.
Untuk pertama kalinya, kabut hutan tidak lagi memisahkan mereka, melainkan menyatukan langkah yang berbeda.
Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar. Dari arah semak, dua sosok muncul. Ero dan Jau. Keduanya membawa sumpit panjang dan hasil buruan kecil di pundak.
“Lukas!” seru Ero sambil berlari kecil. “Kami dengar suara ribut… kau baik-baik saja?”
Ia berhenti mendadak ketika matanya jatuh pada tubuh babi hutan yang mati terjerembab di lumpur. Jau ikut tertegun, matanya membesar.
“…Aduh… besar sekali…” gumam Jau, hampir tidak percaya.
Lukas menegakkan bahu, berusaha menutupi kegugupannya. “Ya. Kami… menemukannya.”
Ero mempersempit mata. Tatapannya berpindah, dari tubuh babi, lalu ke Renji yang masih berdiri dengan tombak di tangan. Ada jeda singkat sebelum bibirnya menyeringai tipis.
“Menemukannya? Atau membunuhnya?” suara Ero sinis, seperti ujung panah yang dipanaskan api. “Kau pikir kami buta, Lukas? Itu tombak tentara yang menancap di lehernya. Bukan mandau milikmu.”
Lukas memerah, rahangnya mengeras. “Diam, Ero. Kau tidak tahu apa yang terjadi.”