Ero menatapnya, lalu mengangkat alis. “Memuji? Kami hanya mengatakan yang kami lihat.”
Bawan meletakkan ember dengan kasar. “Apa kalian lupa siapa dia? Serdadu Jepang! Bajunya mungkin sudah dilepas, tapi darah di tangannya tidak akan pernah hilang. Kalian ingin menggunakan serigala untuk melindungi kita? Apa kalian gila? Dulu, mereka membakar kampung kita, membunuh anak-anak kita. Dan sekarang kau ingin dia mengajari kita?”
Lukas berdiri. “Itu masa lalu, Bawan! Kami bicara tentang masa depan! Kita tidak akan pernah bisa melawan mereka kalau kita tetap menggunakan cara lama!”
Bawan menghunus jarinya ke dada Lukas. “Kau tahu apa yang kulihat terakhir kali sebelum adikku mati? Seragam itu! Mereka menyeretnya dari rumah, memukulnya sampai tulangnya patah. Aku tak bisa menolong… hanya mendengar teriakannya dari hutan malam itu, saat mereka menyeretnya ke sana! Sampai sekarang, teriakannya masih membangunkanku dari tidur!”
Suaranya pecah, matanya dipenuhi amarah. “Kau ingin aku belajar dari bangsa yang merenggut nyawa adikku dan mengangguk pada pembunuh yang sudah menumpahkan darah keluarga kami? Tidak, Lukas. Lebih baik aku mati dengan mandau di tangan daripada hidup sebagai murid penjajah itu!”
Suasana semakin memanas. Pemuda lain mulai berkumpul, bisik-bisik berubah jadi riuh. Sebagian mendukung Lukas, tapi lebih banyak yang membela Bawan. Argumen beradu, membuat ketegangan memanas. Mandau-mandau kecil di tangan mereka berkilat terkena nyala obor.
Lukas maju selangkah, nadanya meninggi. “Kalau musuh ini bisa membuatku bertahan hidup... aku akan belajar. Aku tidak peduli dari mana asalnya. Kau bisa terus hidup dengan kebencianmu, Bawan. Tapi aku lebih memilih belajar agar tidak mati sia-sia!”
Bawan menggeram, wajahnya memerah. Ero berdiri di samping Lukas, seperti siap membela kapan saja. Suasana seakan hanya menunggu percikan kecil untuk berubah jadi perkelahian.
Namun sebelum itu terjadi, suara berat bergema, menebas udara.
“Cukup!”
Semua kepala sontak menoleh. Dari arah jalan, Apa’ Bujang berdiri tegak, tatapannya tajam seperti bilah mandau yang baru diasah. Ia melangkah ke tengah, sorot matanya menyapu Lukas, Ero, Jau, lalu berakhir di wajah Bawan.
Para pemuda itu refleks menyarungkan kembali senjata mereka dan langsung menunduk.
“Belum waktunya kalian berdebat soal lelaki itu,” suara Apa’ Bujang rendah, namun menggema. “Kampung ini punya aturan. Hanya para tetua di rumah Radakng yang berhak memutuskan nasibnya. Kalian… diam. Dengarkan. Tunggu.”
Bawan mengepalkan tangan, tapi menunduk. Ero dan Jau menahan napas, sementara Lukas masih menatap penuh api.
Apa’ Bujang menatap lurus ke arah Lukas dan Bawan secara bergantian.
“Masalah ini belum selesai. Nasibnya masih mengambang,” lanjutnya. “Semua akan diputuskan setelah kami mengadakan musyawarah para tetua berikutnya. Sampai saat itu, jangan ada yang mengambil keputusan sendiri. Jangan ada yang bertarung.”
Lukas dan Bawan menunduk, saling memandang, lalu mundur. Api amarah mereka belum padam, tetapi mereka tunduk pada kekuasaan para tetua.
Namun dalam hati, masing-masing pemuda itu tahu... perdebatan ini hanyalah awal. Sebuah benih sudah tertanam, dan cepat atau lambat, kampung ini harus memilih—antara menolak Renji sepenuhnya, atau mengizinkan dia jadi bagian dari mereka.
Selama ini, Renji hanyalah masalah, sebuah beban yang harus mereka hadapi. Tetapi sekarang, Lukas, Jau, dan bahkan sebagian pemuda lainnya, mulai melihatnya sebagai solusi. Kini, bukan hanya nasibnya yang dipertaruhkan, tetapi juga nasib seluruh kampung.