Renji menghela napas panjang.
Jau menoleh, suaranya tenang tapi penuh kejujuran. “Kami tidak sedang mengejekmu. Kami hanya ingin belajar bagaimana cara menghadapi Jepang. Mandau kami tidak cukup. Tapi kau… kau sudah melihat perang dengan matamu sendiri.”
Renji menatap Jau cukup lama, lalu menunduk lagi. “Aku… tidak bisa. Mengajarkan cara perang hanya akan membuat kalian jadi seperti aku. Percayalah, itu bukan sesuatu yang layak ditiru.”
Hening turun. Lukas menggertakkan gigi, jelas tidak puas. Lalu tiba-tiba tatapannya tajam menusuk Renji.
“Kalau begitu, dengar aku baik-baik,” katanya perlahan, suaranya penuh perhitungan. “Kami tidak akan pulang dengan tangan kosong. Jadi bagaimana kalau... kau mengajari kami… dan kami akan membawakan sesuatu untukmu.”
Renji menatapnya bingung.
“Senara,” bisik Lukas.
Tubuh Renji menegang. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak berkedip, nyaris tak bernapas. Itu adalah nama yang paling ia rindukan. Nama yang setiap malam ia bisikkan di dalam kegelapan.
“Kami akan membawa Senara ke sini. Diam-diam. Supaya kau bisa bertemu dengannya.” Lukas melanjutkan, suaranya lebih yakin sekarang. “Tapi sebagai gantinya… kau harus mengajari kami. Sedikit saja. Hal dasar. Kalau tidak… anggap saja kau menolak kesempatan untuk melihatnya lagi.”
Renji diam, otaknya bekerja keras. Kerinduan yang luar biasa berbenturan dengan ketakutan yang tak tertahankan. “Apa… yang kau katakan?” suaranya nyaris bergetar.
Lukas menatapnya lurus. “Kau pasti rindu padanya, bukan? Kami tahu. Matamu selalu mencari arah kampung. Kau tidak bisa menemuinya, tapi kami bisa. Kami bisa menjaganya, membawanya ke sini… asal kau mengajari kami.”
Renji menunduk tajam, kedua tangannya mengepal di atas lutut. “Tidak. Itu terlalu berbahaya.”
“Kau takut warga kampung kami menyakitinya kalau tahu dia ke sini?” tanya Lukas.
Renji memejamkan mata, wajahnya menegang. “Bukan warga kampung yang kutakutkan,” katanya akhirnya, suaranya berat. “Hutan ini. Tentara Jepang masih berkeliaran. Mereka bisa saja datang kapan pun. Kalau dia berjalan sampai pondok ini, itu sama saja kubiarkan dia masuk ke sarang bahaya.”
Lukas maju sedikit, nada suaranya mantap. “Maka kami yang akan melindunginya. Kami akan membawanya keluar dari rumah Radakng, menyelinap lewat jalan kebun, dan menemuimu di perbatasan desa. Kau hanya perlu menunggu di sana.”
Ero menimpali cepat, “Ya, biar kami yang jadi umpan kalau ada yang mencurigai. Para tentara itu tidak akan menebak kalau sebenarnya kami hanya ingin membawa seorang gadis menemui… suaminya. Lagipula... apa kau tidak ingin...”