Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #76

Pertemuan

“Kami akan buat itu tidak terjadi.” Lukas memotong tegas, tapi nadanya penuh hormat. “Aku, Ero, Jau—kami yang akan mengawal Kakak. Tidak perlu sampai pondok. Hanya ke perbatasan. Dia akan menunggu di sana. Tidak seorang pun akan tahu.”

Senara menggeleng kecil, masih ragu. “Kalau ada tentara Jepang? Kalau mereka berkeliaran di hutan?”

“Kakak,” Lukas maju setapak, suaranya lebih dalam, “justru itu sebabnya kami butuh dia. Dia bisa melihat apa yang kami tidak lihat. Kalau dia bisa ajari kami, kampung punya harapan. Tapi dia tidak bisa sendirian. Dia butuh alasan untuk tetap berjuang. Dan alasan itu… adalah Kakak.”

Seketika mata Senara basah. Ia menutup wajah dengan tangan, menahan gemetar. “Aku rindu… ingin segera berlari. Tapi hatiku ciut, Lukas. Aku takut.”

Lukas mengangkat bahu, canggung, tiba-tiba mencari kata-kata yang tepat. “Aku paham, Kakak. Aku juga takut. Tapi kami sudah bicara dan berjanji padanya, akan mengawalmu sampai perbatasan. Kita akan memilih rute yang tidak dilalui banyak orang. Dan memastikan tidak ada yang melihat. Kalaupun tertangkap, kami akan bohong. Apa pun yang terjadi, kami bertanggung jawab. Dan… dan jika Kakak mau, aku akan bertaruh nama baikku sebagai pemburu kampung.”

Di kata terakhir itu, Lukas menyengir tipis—senyum yang entah bagaimana mengurangi ketegangan. Ada humor kecil yang jatuh, lembut, membuat Senara hampir tertawa di antara air matanya. Lukas bukan pangeran, bukan penyair. Ia hanyalah pemuda kampung yang berani bicara paling jujur tentang ketidaksiapan dirinya sendiri.

Senara menatap kain di tangannya, membayangkan wajah Renji di bawah lebat daun, menunggu seperti burung yang rindu sarangnya. Rasa aman yang Lukas janjikan terasa rapuh, namun lebih rapuh lagi adalah hatinya bila ia terus tinggal dan menunggu tanpa bertemu.

“Apa kalian… yakin bisa menjaga?” suaranya kecil. “Aku tak mau menjadi beban atau… alasan masalah lain.”

“Kami tidak akan biarkan itu terjadi,” jawab Lukas, nada tegas. “Aku bukan tetua, Kakak. Tapi aku tahu satu hal... dia butuh Kakak untuk tetap hidup. Dan kami… butuh dia.”

Senara menutup mata. Banyak hal berputar di dalam kepalanya. wajah Hayashi, deru senapan, suara Renji yang pernah berbisik, janji yang ia lontarkan di depan orang banyak. “Aku menunggumu.” Terasa lebih keras daripada rasa takut akan desa yang menghakimi. Rasa rindu terasa menjerat.

“Baik,” bisik Senara, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku percaya pada kalian.”

Lukas hampir tersenyum, tapi ia tahan. Ia menunduk hormat, tangan terangkat setengah memberi salam. “Kami mengerti, Kakak. Satu pertemuan. Kami akan menjagamu sampai batas. Kami berjanji.”

Hening sebentar. Angin siang meniup ujung rambut Senara. Ia menatap tanah, lalu langit, lalu wajah Lukas yang masih kaku menunggu. Akhirnya ia mengangguk kecil, tapi matanya bersinar. “Baik. Malam ini.”

Lukas menunduk dalam, lega yang ia sembunyikan hampir pecah jadi senyum. “Terima kasih, Kakak.”

“Tak perlu terima kasih,” jawab Senara pelan, suaranya penuh rindu yang ia tahan. “Itu untuk dia. Untuk Renji.”

***

Lihat selengkapnya