Tak ada senyum, tak ada basa-basi. Tiga pemuda itu refleks berdiri lebih tegak, meski tidak ada perintah.
Renji melangkah mendekat, tanah berderak di bawah kakinya. “Dengar baik-baik. Aku memang tidak diterima penuh di kampung ini. Nasibku masih digantungkan pada keputusan tetua. Tapi kalian datang sendiri, meminta sesuatu dariku. Maka mulai sekarang, selama kita berada di sini…” ia berhenti sebentar, menatap tajam, “…aku yang memimpin. Tidak ada bantahan. Tidak ada alasan. Kalian dengar perintah. Kalau tidak—lebih baik kembali ke kampung sekarang juga.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu berat. Lukas menunduk sedikit, tegas. Jau mengangguk patuh. Ero… sempat membuka mulut, lalu buru-buru menutup lagi setelah merasakan tatapan Lukas dari samping.
Renji menghela napas singkat. “Selama latihan, kalian berdiri sebagai murid—dan aku sebagai pengajar. Kalau kalian tak mampu bersikap hormat… jangan pernah kembali ke sini.”
Lukas menunduk sedikit, nadanya tegas, “Kami mengerti.”
Jau mengikuti, wajahnya bersungguh-sungguh.
Ero? Dia menelan ludah, lalu mengangguk cepat, meski bibirnya masih berusaha menahan komentar.
Renji melanjutkan. “Aku tidak melatih kalian untuk menjadi pembunuh. Aku tidak ingin kalian menjadi sepertiku.” Dadanya naik-turun sebentar, menahan getir. “Aku hanya ingin kalian punya cukup pengetahuan… untuk menjaga kampung kalian. Itu saja. Jelas?”
“Jelas,” jawab Lukas mantap.
“Jelas,” ulang Jau, meski agak berbisik.
Ero mengangkat tangan sedikit, “Jelas, Guru—eh… apa sebutannya, ya?”
Renji menoleh, keningnya berkerut. “Apa maksudmu?”
Ero nyengir, menggaruk tengkuk. “Kalau kami harus dengar perintahmu, apa kami memanggil ‘Takeyama’ saja? Terlalu… kaku. Kalau di kampung, kami bisa bilang ‘Abang’ atau ‘Guru’. Tapi kau bukan urakng kampung. Jadi… apa panggilan guru di Jepang?”
Lukas langsung menghela napas berat. “Ro…”
Tapi Jau menoleh, ikut penasaran. “Iya juga, Lukas. Apa kita harus panggil ‘Tuan Takeyama’? Rasanya aneh.”
Renji sempat terdiam, tatapannya jatuh ke tanah berlumut. Seolah ada sesuatu yang menekan dadanya. Ia menghembuskan napas panjang, lalu berucap lirih, hampir enggan.
“…Sensei.”
Tiga pasang mata menatapnya kosong.
“Itu… panggilan untuk guru di Jepang,” Renji akhirnya menjelaskan, suaranya berat. “Tapi jangan salah sangka. Aku bukan guru. Aku bukan teladan.”
Belum sempat ia melanjutkan, Ero sudah bersorak kecil, menepuk dada seakan menemukan harta karun. “Sensei! Wah, itu hebat! Lebih gagah dari ‘Guru’. Mulai hari ini, kau Sensei kami!”
Lukas langsung menoleh tajam, “Ero, jangan seenaknya.”
Tapi Jau, yang jarang bicara, justru mengangguk pelan. “Aku suka itu. Lebih mudah diingat… dan memang benar, dia sedang mengajar kita.”