Setelah itu, Renji menyuruh mereka melakukan gerakan aneh lainnya. Jalan jongkok. Berjalan dalam posisi jongkok, seperti kura-kura. Beberapa langkah, paha Ero sudah terasa seperti terbakar.
“Senseiii, ini bukan latihan militer, ini siksaan!” protesnya, tapi Renji tidak peduli.
“Dunia ini adalah medan perang, Ero,” kata Renji. “Kalian harus bisa bertahan di dalamnya.”
Setelah hampir setengah jam, Renji menyuruh mereka duduk. Napas mereka memburu, keringat mengalir deras. Ero sudah seperti tumpukan kain basah, ia tergeletak di tanah, tidak bergerak.
“Sekarang,” kata Renji, “kita belajar soal mindset.”
Ia berdiri di hadapan mereka yang duduk lelah di tanah, napas memburu. “Kalian pikir latihan hanya soal otot? Tidak. Otot tanpa pikiran hanya akan membuat kalian mati lebih cepat. Sebelum kalian kuajari cara bertarung dengan senjata, kalian harus mengerti makna dari senjata itu. Kalau kalian tidak tahu… kalian akan menggunakannya dengan cara yang salah. Dan itu sama saja bunuh diri.”
Renji berjalan pelan, tatapannya menyapu ketiga wajah pemuda di hadapannya.
“Setiap senjata adalah ekstensi dari tubuhmu. Mandau Lukas adalah kekuatan. Mandau yang diayunkan dari hati akan mematahkan tulang, tapi mandau yang diayunkan dari kepala akan memotong musuh tanpa ampun.”
Lukas mendengarkan dengan saksama, mencerna setiap kata.
“Tombak Jau adalah pertahanan. Bukan hanya melindungi diri, tetapi juga melindungi yang lain. Kecepatan dan akurasi adalah yang utama.”
Jau mengangguk, matanya menatap tajam ke depan.
“Sumpit Ero,” kata Renji, matanya menatap Ero. “Adalah kebijaksanaan. Sebuah senjata yang tidak bersuara, mematikan. Itu adalah senjata untuk orang yang paling tidak mencolok. Orang yang paling cerdas.”
Ero yang mendengar itu langsung bangkit, dadanya membusung. “Jadi aku yang paling cerdas? Haha, aku tahu!”
Lukas mendengus, sementara Jau memutar matanya.
Renji melihat ketiganya. Mereka tidak sempurna, tetapi mereka memiliki potensi.
“Tadi itu hanya pemanasan,” kata Renji. Ia memberi isyarat agar mereka berdiri.
Wajah Ero langsung pucat. “Pemanasan?! Sensei bercanda, kan?!”
Renji menatap mereka bertiga. Sekilas, sesuatu yang mirip senyum tipis muncul di wajahnya—hampir tidak terlihat, tapi nyata. Namun suaranya kembali keras, berat.
“Ini baru permulaan. Besok… lebih berat lagi.”
Tiga pemuda itu saling pandang, wajah setengah putus asa. Hanya Ero yang berani bersuara lirih, “Permulaan saja sudah seperti kiamat kecil…”
Renji berpaling, menatap hutan lebat di kejauhan. “Kalau kalian ingin selamat dari kiamat besar… maka bertahanlah.”
***