
“Aku tahu, Senara,” ucap Uwe’ Lami perlahan, seakan bisa membaca pikirannya. “Malam itu kau pergi diam-diam. Dengan bantuan tiga bocah nakal itu, kan?”
Jantung Senara berhenti sejenak. Tubuhnya kaku.
“Uwe’… Uwe’ tahu?” suaranya tercekat.
Uwe’ Lami tidak menjawab dengan kata. Beliau hanya tersenyum tipis, senyum yang entah bagaimana membuat air mata Senara hampir pecah. Bukan senyum mengejek, bukan juga marah. Senyum itu justru penuh pemahaman.
“Tubuhku sudah tua, tapi mata batin ini belum buta,” lanjutnya. “Kaki dan telingaku memang lamban, tapi hati masih bisa meraba. Aku tahu kau keluar malam itu. Aku tahu ke mana arah rindumu berlari.”
Senara menunduk dalam-dalam. “Maafkan aku… aku tak berniat mempermalukan Uwe’ atau menentang tetua lain…”
Uwe’ Lami mengangkat tangan, memberi isyarat agar Senara diam. “Tidak semua yang disembunyikan adalah salah. Ada hal-hal yang memang harus dijaga dari mata ramai, agar tidak jadi bahan api.”
Air mata Senara jatuh akhirnya. Ia mengusap cepat, takut dianggap lemah. “Aku… aku Cuma ingin melihatnya. Meski sebentar. Aku takut… kalau semua ini hanya mimpi.”
Tetua itu menepuk punggung tangannya perlahan, seperti orang tua yang menenangkan cucu. “Rindu, kalau ditahan terlalu lama, bisa jadi racun. Tapi kalau dilepas sembarangan, bisa jadi jerat. Kau mengerti maksudku?”
Senara mengangguk, bibirnya bergetar. “Mengerti, Uwe’.”
“Kalau begitu,” Uwe’ Lami menatap jauh ke hutan, suaranya tenang, “pergilah. Besok pagi. Bawa saja tiga bocah itu bersamamu. Katakan kau hendak mengantar makanan untuk Takeyama. Jangan terlalu sore kembali, agar tak ada yang curiga.”
Senara terperangah, matanya membesar. “Uwe’… mengizinkan?”
“Bukan mengizinkan,” beliau menatapnya lagi, senyum tipis kembali muncul. “Aku hanya membuka jalan yang memang sudah hatimu pilih. Jaga langkahmu, Senara. Jangan biarkan rasa ini jadi pintu bencana. Kalau kau kuat, ia akan jadi cahaya. Kalau kau lengah, ia bisa jadi api.”
Senara tak sanggup menahan air mata lagi. Ia menunduk, mencium tangan tua itu dengan penuh hormat. “Terima kasih, Uwe’… terima kasih…”
Uwe’ Lami hanya mengangguk kecil, lalu mengalihkan pandangannya pada hutan yang tenang. Seolah beliau tahu, di balik hutan itulah ada jawaban untuk rindu Senara—dan mungkin, juga awal dari ujian besar bagi seluruh kampung.
***
Pagi itu, udara terasa dingin dan basah. Embun masih menggantung di setiap daun. Senara berjalan di tengah, diapit oleh Lukas di depan dan Jau di belakang. Ero, seperti biasa, berada di sisi Senara, kakinya melompat-lompat kecil.
“Aku sudah bilang, ‘kan, Sensei kami itu galak kalau pagi,” bisik Ero, pura-pura merinding. “Apalagi kalau bangunnya sudah didahului nyamuk. Dia bisa menyuruh kami udetatefuse sampai malam.”