Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #81

Trauma

Renji menghela napas berat, memilih kembali ke posisinya. “Itu… masa lalu. Tidak perlu dibicarakan. Fokus pada latihan, atau aku tambah hukumannya dua kali lipat.”

Tiga pemuda langsung tegak lagi, meski Ero masih nyengir penuh arti.

Tapi fokus Renji sudah buyar. Ia memberi aba-aba, tapi nadanya terlalu cepat.

Lukas sempat mengingatkan, “Sensei, perintahmu lompat-lompat.”

Renji menghela napas dalam, menoleh sebentar ke Senara, lalu kembali lurus ke depan. “Jalankan.”

Namun setiap kali ia bicara, ada ketegangan aneh—suara yang biasanya keras kini lebih tergesa, lebih kaku.

Ero mengeluarkan kalimat yang membuat semua nyaris pecah tawa. “Sensei, kalau kau terus-terusan begini, aku tidak yakin latihan kita melawan Jepang akan berhasil. Karena Jepang satu ini sudah kalah bahkan sebelum perang dimulai. Padahal lawannya hanya seorang wanita.”

Jau langsung menutup mulut, bahunya terguncang. Lukas pun menunduk dalam-dalam, mencoba menyembunyikan senyum. Senara 1tak lagi bisa menahan, tawanya pecah, murni dan jernih.

Renji berdiri kaku, wajahnya merah padam. Namun di balik itu, di dadanya ada rasa lain—hangat, asing, tapi menenangkan. Untuk pertama kali, pondok yang dingin itu terasa hidup karena kehadiran Senara.

***

Teras pondok itu sepi, hanya suara serangga hutan yang bersahut-sahutan. Matahari siang menyusup lewat sela pepohonan, membuat bayangan bergerak di tanah berlumut. Tiga pemuda sudah diberi instruksi oleh Renji untuk berlatih sendiri-sendiri.

Lukas dan Jau sedang melatih serangan dan tangkisan dengan tombak dan mandau mereka. Ero, di sisi lain, sibuk memanjat pohon, berusaha menajamkan kelincahan dan kecepatan dengan sumpitnya.

Senara duduk di depan teras, ujung kainnya jatuh menyentuh tanah. Renji duduk di sampingnya, punggung sedikit bersandar pada tiang kayu. Dari tempat itu, mereka bisa melihat jelas Lukas yang berjalan tegap memberi aba-aba, Jau yang pelan-pelan meniru tanpa banyak bicara, dan Ero yang ribut sendiri setiap kali salah langkah atau anak sumpitnya tak tepat sasaran.

Senara tersenyum samar, matanya tak lepas dari mereka. “Mereka… mereka terlihat berbeda. Sepertinya… mereka sudah mulai menaruh hormat padamu, Renji.”

Renji ikut melirik, sudut bibirnya bergerak, tapi bukan senyum penuh. “Hormat? Tidak. Mereka hanya… terbiasa. Itu saja.”

Senara menoleh, mengangkat alis. “Kau meremehkan dirimu lagi, Renji. Apa kau tidak melihatnya?” bisik Senara. “Mereka memanggilmu ‘Sensei’ bukan karena takut. Itu adalah kehormatan bagi mereka.”

Lihat selengkapnya