Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #82

Mata yang Mengintai



Tanpa sadar, mereka semakin larut. Suasana di teras pondok itu begitu intim, begitu rapuh sekaligus hangat.

Mereka sampai tidak menyadari bahwa di kejauhan, Lukas dan Jau telah menghentikan latihan mereka. Para pemuda itu hanya menatap, merasakan betapa dalamnya ikatan yang dimiliki Renji dan Senara. Mereka tidak berani bergerak, takut mengganggu momen sakral itu.

​Namun, seperti biasa, ada satu pemuda yang tidak bisa menahan diri.

“Ehem! Maaf mengganggu, Sensei. Tapi… sepertinya kalau latihan ini mau dilanjutkan, ada yang harus pindah tempat.”

Renji dan Senara tersentak. Mereka melepaskan pelukan, wajah keduanya memerah. Renji menatap Ero, alisnya terangkat.

Ero tidak takut, justru ia menyengir lebar. “Soalnya… kami tidak mau jadi obat nyamuk. Kalau Sensei dan Kakak Senara mau ke kamar… kami bisa tunggu di luar. Atau... kami cari tempat lain untuk latihan, biar tidak mengganggu. Tidak usah sungkan!”

Tawa desis Jau terdengar. Lukas, yang mencoba menahan, akhirnya tersenyum.

Mata Renji membesar, napasnya memburu. Marah? Jelas. Ia berdiri perlahan. Tatapannya menusuk ke arah Ero.

“Ro…” suara Renji datar, tapi menakutkan. “Ulangi apa yang baru kau katakan.”

Ero langsung pucat, melangkah mundur. “Eh… aku… maksudku… eh, aku salah bicara! Aku tak bilang apa-apa!”

Renji melangkah turun satu anak tangga, tubuhnya tegak seperti prajurit siap perang.

Ero spontan lari tunggang-langgang ke dalam hutan, sumpitnya terayun-ayun tak beraturan. Tawa Jau pecah. Lukas pun akhirnya tidak bisa menahan diri, ia menunduk dalam-dalam, bahunya terguncang oleh tawa.

Renji berdiri dengan tangan di pinggang, wajahnya kaku, tetapi melihat tawa mereka, ia tidak bisa menahan. Sudut bibirnya terangkat saat matanya bertemu dengan mata Senara. Dan akhirnya, tawa kecil keluar dari bibirnya. Senara, yang masih berdiri di sampingnya, juga tertawa, murni dan jernih.

“Sepertinya ada yang tidak berani kembali lagi ke sini untuk sementara waktu,” ujar Jau sambil terus terkekeh.

“Dia pasti langsung pulang ke kampung, mengunci pintu kamar dan bersembunyi di balik selimut,” Lukas menambahkan sambil menyarungkan kembali mandaunya.

Untuk sesaat, teras pondok itu dipenuhi tawa yang mengisi kekosongan siang. Di sana, dua jiwa yang terluka menemukan kenyamanan dalam tawa dan janji.

Kini, tiga pemuda kampung tidak lagi melihat seorang monster. Melainkan seorang pria, seorang pemimpin, seorang kekasih… yang mana untuk pertama kalinya, mereka melihat sisi manusia dari seorang tentara Jepang yang biasanya terkenal kejam dan bengis.

Untuk sesaat, masa lalu dan ketakutan masa depan lenyap, terganti dengan tawa dan kehangatan.

Lihat selengkapnya