Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #83

Dua Api di Malam yang Sama



Senara berlari. Napasnya memburu, paru-parunya serasa terbakar. Ia terus berlari menyusuri jalan setapak yang hampir gelap, hanya diterangi oleh cahaya keemasan senja yang sesekali menembus pepohonan. Kakinya tersandung akar dan batu, tetapi ia tidak berhenti. Ketakutan yang membakar di dadanya jauh lebih kuat dari rasa sakit.

Ketika pondok Renji akhirnya terlihat, ia melambatkan langkah, dadanya dipenuhi kelegaan yang tak terlukiskan. Cahaya api unggun yang hangat dari luar pondok memanggilnya, seolah-olah sebuah pelukan yang sudah lama dinanti.

Renji sedang duduk di teras, mengamati api yang menjilat-jilat di hadapannya. Suasana pondok hening, hanya ditemani suara serangga malam. Namun, keheningan itu pecah ketika ia mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa. Ia bangkit, meraih tombak yang tersandar di dinding.

“Siapa di sana?” suaranya berat, penuh waspada.

Namun, ketika sosok Senara muncul dari balik semak, Renji membeku. Tombak itu goyah di genggamannya. “Nara-chan?” bisiknya, suaranya dipenuhi keterkejutan dan kekhawatiran. “Kenapa kau kembali? Kenapa… kau sendirian?”

Senara tidak menjawab. Napasnya terengah-engah, matanya berkaca-kaca. Ia tidak bisa menahan isak tertahannya lagi. Ia berlari ke arah Renji, menempel ke dalam dekapannya.

Renji segera membuang tombaknya. Ia menyandarkan tubuhnya ke Senara, menahan gadis itu dari dingin dan bahaya. Ia merasakan tubuh Senara bergetar, dan tangisan pelan terdengar di dadanya. “Ada apa? Kenapa? Lukas dan Jau… di mana mereka?” tanyanya, suaranya tercekat.

Senara mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. Ia menceritakan segalanya, dari Bawan dan teman-temannya yang menguntit, hingga konfrontasi di tengah jalan. Ia menceritakan tatapan kebencian yang ia lihat, dan tuduhan-tuduhan mengerikan yang dilontarkan Bawan. Renji mendengarkan, matanya menyala marah. Tangannya mengepal, siap untuk melawan siapa pun yang berani menyentuh gadisnya.

“Mereka… mereka menuduh Lukas dan yang lain bersekutu denganmu. Mereka bilang… mereka melihat kita… dan mereka…” Senara tidak bisa melanjutkan. Suara tercekik kembali terdengar.

“Nara-chan...” Renji mengusap kepala Senara, seakan berusaha menghapus segala rasa sakit.

“Aku takut warga kampung akan datang ke sini untuk mencelakakan atau mengusirmu.” Senara tersedu semakin keras sampai tubuhnya bergetar.

Renji menahan napas, dadanya naik-turun. Ia merasakan kemarahan yang membakar. Ia ingin mendatangi kampung dan menghadapi mereka, tetapi ia tahu ia tidak bisa. Itu hanya akan membuat situasi semakin buruk.

“Aku menyuruh mereka pulang, dan memutuskan untuk kembali ke sini,” bisik Senara, suaranya serak. “Aku tidak bisa… membuat mereka menanggung semua ini. Mereka tidak salah, Renji.”

Lihat selengkapnya