
Lukas menahan napas, dadanya naik-turun. Ia melirik Jau di sampingnya, yang hanya menunduk dalam, bisu. “Kami tidak bersekutu,” jawab Lukas, suaranya tenang, mencoba menahan emosinya. “Dia hanya… mengajarkan kami cara bertahan hidup.”
“Bertahan hidup?” Bawan menyalak, melangkah maju. “Bertahan hidup dengan siapa? Dengannya? Kau pikir kami bodoh, Lukas? Prajurit itu hanya ingin menjadikan kalian mata-mata! Ia ingin menguasai kampung kita dari dalam!”
“Tuduhanmu terlalu berat, Bawan,” sela Apa’ Bujang, suaranya dalam dan berwibawa. “Apakah kalian melihat mereka melakukan pengkhianatan?”
“Tentu saja! Mereka menyembunyikan si pengkhianat itu! Dan perempuan itu!” Bawan menunjuk ke arah jalanan. “Dia ada di sana bersama mereka! Dia adalah kekasih prajurit itu! Aku bahkan mendengar rumor kalau dia….” Bawan menghentikan perkataannya. Ia tidak melanjutkan, namun kerumunan warga yang mulai berkumpul sudah mengerti maksudnya.
Wajah Lukas memerah. “Hentikan bualanmu, Bawan! Aku, Jau, dan Ero hanya berlatih... untuk menjaga kampung ini juga. Dia punya ilmu tentara yang bisa kita gunakan untuk menghadapi tentara Jepang. Kami hanya memanfaatkan itu. Tidak ada niat untuk menjadi mata-mata apalagi mengkhianati kampung ini.”
Suara Bawan membelah udara malam. “Kalau lelaki itu tetap kita sembunyikan, maka kampung ini yang akan jadi taruhannya! Serahkan dia, atau usir jauh-jauh! Kita semua tahu tentara Jepang... mereka datang bukan untuk melindungi. Kalau orang ini ketahuan bersembunyi di sini, apa yang akan terjadi pada keluarga kita?”
Kerumunan warga mulai gaduh. Beberapa lelaki muda ikut berteriak setuju
Mereka yang duduk di sekelilingnya saling bertukar pandang. Kekhawatiran memang nyata. Jika orang Jepang menemukan Renji di desa, bukan hanya dirinya yang terancam, tapi seluruh kampung bisa disapu habis.
Namun Apa’ Bujang menahan dengan suara mantap. “Aku sudah lihat dengan mata kepala sendiri. Dia melindungi Senara. Kalau dia sama saja dengan tentara lain, tidak mungkin ia rela pasang badan untuk seorang gadis desa.”
Riuh suara nyaris pecah kembali, sampai Uwe’ Lami yang sejak tadi diam akhirnya bicara. Suaranya dalam, tenang, namun tegas. “Kalian melihatnya hanya sebagai tentara. Aku melihatnya sebagai jiwa yang terluka. Dia dan Senara… mereka bukan ancaman. Mereka justru saling menjaga, bahkan saat dunia menolak keduanya.”
Beberapa orang terdiam, tapi keraguan masih menggantung. Saat itulah Uwe’ Lami menambahkan sesuatu yang membuat balai adat tersentak hening. “Dan perlu kalian tahu, pagi tadi, Senara tidak bertemu dia diam-diam. Akulah yang memberi izin. Jika ada yang harus kalian salahkan, salahkan aku. Karena aku percaya, Tuhan tidak menghadirkan pertemuan ini untuk kebinasaan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar dari kita semua.”