
Seorang lelaki tua maju satu langkah, wajahnya pucat. “Mana bisa begitu, Tuan? Kami tidak punya banyak beras untuk diberikan! Kami akan kelaparan!”
Reaksi tentara Jepang itu datang dengan cepat dan brutal. Pemimpin itu mengangkat sepatu botnya dan menendang tumpukan kendi air di dekatnya. Kendi-kendi itu pecah berkeping-keping, air membasahi tanah, menciptakan suara yang memekakkan telinga.
“Diam!” teriak pemimpin itu dalam bahasa Jepang, diterjemahkan oleh juru bahasa yang kini gemetar ketakutan. “Kami tidak meminta! Kami memerintah! Jika kalian tidak memenuhi, kami akan datang dan mengambil semua yang kami mau! Istri-istri kalian, anak-anak kalian… semua akan menjadi milik Kekaisaran!”
Teror semakin menjadi. Seorang prajurit lain berjalan ke arah lelaki tua itu dan menamparnya dengan keras hingga roboh di tanah. Tidak ada yang berani bergerak.
Jau yang tak tahan melihat itu refleks maju, namun segera ditahan oleh Lukas. “Jangan!” bisik Lukas, suaranya putus asa. “Kau mau mati konyol?!”
Jau mundur, mengepalkan tangan dengan mata merah dan napas memburu. Kesal karena cuma bisa menyaksikan betapa tak berdayanya mereka di hadapan senjata.
Seorang pemuda—mungkin tidak lebih dari dua puluh—melangkah maju, suaranya berpacu. “Tuan.... kami punya sedikit beras, tapi—”
Ia belum sempat menyelesaikan, ketika seorang prajurit berdiri di depannya, menekan gagang senapan ringan ke dadanya. Mata pemuda itu membulat, ada ketakutan yang cepat menutupi keberanian.
Perwira itu meludah ke tanah. “Kami akan kembali sore nanti! Pastikan kalian sudah menyiapkan apa yang kami minta. Jika tidak, kami akan membakar rumah kalian dan semua lelaki yang kami temukan akan digiring pergi!”
Tanpa menunggu jawaban, rombongan tentara Jepang itu berbalik dengan hentakan sepatu yang sama angkuhnya, lalu meninggalkan kampung, meninggalkan keheningan yang mematikan dan aroma ketakutan yang pekat.
Ketika derap sepatu itu benar-benar lenyap di balik hutan, barulah warga berani bergerak. Tangisan pecah. Perempuan-perempuan menghambur memeluk suami dan anak-anak mereka.
Lukas dan Jau saling pandang. Mereka tahu. Debat tentang Sensei mereka bahkan belum berakhir, tapi ancaman nyata telah datang. Tidak ada lagi waktu untuk musyawarah.
Di tengah kekacauan, Apa’ Bujang berjalan ke tengah balai adat, wajahnya yang tadi tenang kini tampak lelah dan putus asa.
“Semua berkumpul!” teriaknya, suaranya parau. “Kita harus bicara! Sekarang!”
Setengah jam kemudian, balai adat dipenuhi warga. Udara tebal oleh keputusasaan dan kepanikan. Para tetua duduk di kursi mereka, wajah mereka sekeras batu, namun mata mereka memancarkan ketakutan yang sama dengan warganya.
“Kita tidak bisa memenuhi tuntutan mereka!” seorang lelaki berteriak. “Kita akan kelaparan. Sedangkan jika menolak, mereka akan membakar kita!” balas yang lain, suaranya frustrasi.