
Apa’ Bide maju satu langkah. Ia menunduk sedikit, menunjukkan sikap menghormat—tepat seperti instruksi Renji—tetapi suaranya mantap.
“Tuan Perwira,” kata Apa’ Bide. “Kami telah berusaha sekuat tenaga. Kami adalah kampung kecil, miskin. Kami hanya bisa memberikan setengah dari beras yang kalian minta. Kami mohon, berikan kami waktu untuk sisanya.”
Perwira itu tertawa, tawa yang menusuk telinga. Ia mengambil kendi air terdekat dan membantingnya ke lantai. “Setengah?! Kau kira Kekaisaran Agung adalah pengemis?!”
“Kami tidak bermaksud menipu. Kami menjamin sisanya akan diserahkan. Tapi jika Tuan membakar kampung ini sekarang, siapa yang akan mengumpulkan semua kebutuhan Tuan nanti? Biarkan kami bekerja untuk Kekaisaran.”
Argumen Apa’ Bide cerdik. Ia menggunakan logika efisiensi ala militer Jepang, seperti arahan Renji. Perwira itu terdiam, terlihat mempertimbangkan.
“Lalu tenaga kerja?” tanya perwira itu, nadanya sedikit mereda, tetapi matanya tetap tajam.
“Kami sudah kumpulkan sepuluh orang,” kata Apa’ Bide. “Tapi keadaan di desa kami… tidak memungkinkan menyerahkan pemuda untuk saat ini. Sebagian dari mereka ada yang sakit dan ada yang sedang pergi berburu. Yang ada, hanya lansia dan anak-anak. Kami mohon pengertian Tuan.”
Perwira itu menyipitkan mata, menatap ke sekeliling. Tuntutannya kini ditunda dan dikurangi, dan ia tidak suka itu.
“Huh… aku tidak suka cara kalian mengulur waktu. Tapi... aku juga tidak mau membawa rōmusha yang tak berguna. Kau meminta waktu? Baik. Kami kembali dalam seminggu untuk sisanya! Jangan coba-coba lari! Jika saat kami datang dan kalian masih belum bisa memberikan apa yang kami mau, desa ini akan rata dengan tanah!”
Di balik pilar balai, Renji menunduk, matanya mengamati setiap gerakan. Dari jauh, ia mengangkat satu tangan, isyarat halus kepada Lukas agar tetap tenang di tempat. Lukas nyaris maju, napasnya tertahan, tetapi ia tahu perintah ini harus dipatuhi. Para pemuda lain tersembunyi, menunggu arahan.
Tiba-tiba, Bawan muncul dari sisi balai. Amarahnya terbakar saat melihat beras dipisahkan untuk tentara Jepang. “Apa ini?! Kalian mau menyerahkan hasil jerih payah kita begitu saja? Aku tidak akan diam melihat desa kami diperlakukan seperti ini!”
Mendadak, balai sunyi. Para tetua saling menatap, terkejut. Lukas menahan napas di balik pohon, para pemuda membeku. Bahkan perwira Jepang menatap tajam, alisnya berkerut. Apa’ Bide mendesah, langkahnya maju, tangan meraih lengan Bawan.
“Jangan… jangan lakukan ini, Bawan! Kau bisa terbunuh!”
Bawan tidak peduli. Ia menghunus mandau di pinggangnya, berdiri tegap, menatap tentara Jepang seolah menantang mereka. “Aku tidak akan mundur! Pergilah! Jangan sentuh desa kami lagi!”