
Renji bergerak seperti bayangan. Langkahnya menjejak tanah basah tanpa suara, tubuhnya merunduk menyusuri hutan yang mulai gelap. Rombongan Jepang yang menyeret Bawan tampak di depan. Dua prajurit di sisi kanan-kiri, satu di belakang dengan bayonet terhunus, dan seorang perwira berjalan paling depan sambil menyalakan lampu kecil.
“Hayaku!” bentak salah satu dari mereka, suaranya memecah keheningan hutan. Dorongan kasar di punggung membuat Bawan terhuyung.
Renji menahan napas, matanya tajam, menghitung ritme langkah mereka. Sejenak, wajah Senara melintas di benaknya—air mata yang jatuh di bahunya, suara lirihnya, “Aku takut kehilanganmu…”
Ia mengatup rahang. Tekadnya memaksa untuk tidak boleh gagal.
Renji mengabaikan jalan utama dan memilih jalur tikus, bergerak paralel di antara rimbunnya semak, menggunakan pepohonan sebagai penutup. Matanya membaca jejak kaki—ia tahu pasti jumlah tentara yang menyertai, tahu titik berat langkah kaki Bawan yang terpaksa mengikuti, dan tahu di mana mereka akan berhenti.
Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut pada tentara dari bangsanya sendiri, tetapi karena ia khawatir gagal memenuhi janjinya pada Senara.
***
Malam itu, di pos sementara, sebagian besar prajurit Jepang sudah terlelap dengan senapan bersandar di bahu. Beberapa duduk melingkar, tertawa kecil sambil menenggak arak dan menghisap rokok murahan. Bau asap rokok bercampur dengan keringat yang menempel di udara lembap Kalimantan.
Para tentara itu mengendurkan pengawasan. Mereka terlalu letih untuk waspada penuh—terlalu yakin bahwa satu pemuda kampung yang terikat tak akan bisa berbuat apa-apa.
Renji menunggu di kegelapan, mempelajari pola mereka dengan tenang—pola yang ia kenal baik, karena dulu dialah yang mengajarkan disiplin semacam itu.
Ia menyusup perlahan, berbaur dengan suara jangkrik dan desir angin. Bawan terikat di sudut gelap pos, wajahnya sayu tapi matanya tetap menyala.
Renji menghitung... tiga belas prajurit. Sepuluh membawa senapan, dua berjaga-jaga, dan satu perwira yang sedang berbicara melalui radio.
Renji tahu ia tidak bisa melawan mereka secara terbuka. Rencananya adalah infiltrasi senyap.
Ia menunggu hingga malam benar-benar larut. Saat pekatnya gelap memeluk alam sepenuhnya, ia menarik dirinya turun dari pohon, bergerak seperti bayangan.