
Obor-obor bergoyang di tepi jalan kampung, nyalanya meliuk ditiup angin malam. Beberapa warga berkerumun, wajah mereka tegang, menatap ke arah hutan yang gelap. Anak-anak digendong erat, perempuan menggenggam tangan suami mereka, dan doa lirih terdengar dari mulut para tetua.
Senara duduk meringkuk, matanya bengkak karena menangis dan kurang tidur. Ia tidak beranjak sejak Renji pergi. Lukas duduk berjongkok, mandau di sisi, wajahnya lelah namun waspada.
Tiba-tiba, dua bayangan muncul dari kegelapan. Seseorang berteriak, “Itu… itu Bawan! Dia kembali!”
Sorak dan seruan bercampur. Beberapa warga berlari menghampiri, air mata tumpah sebelum tubuh mereka benar-benar yakin siapa yang datang.
Senara lebih dulu melihat sosok tinggi gagah di samping Bawan. Ia tidak menunggu sedetik pun. Tubuh mungilnya melesat, kakinya menabrak tanah berdebu, suara jantungnya lebih keras dari riuh orang kampung.
Mata Renji menangkap sosok gadis itu. Untuk pertama kalinya sejak malam gelap itu dimulai, rahangnya yang tegang melembut. Saat Senara sampai di depannya, ia sempat kehilangan kata-kata. Lalu tubuh kecil itu sudah memeluknya seakan takut ia menghilang lagi.
Renji terhuyung sedikit, lalu spontan mengangkatnya dari tanah. Lengannya melingkari tubuh rapuh itu, mengangkat Senara seakan ia hanya seberat helai kain.
“Renji!” Senara terisak, memeluk Renji dengan seluruh tenaga yang ia miliki. Ia tidak peduli dengan luka, bau tanah, atau tatapan orang-orang di sekeliling mereka.
Renji membalas pelukan itu dengan kuat, menutup matanya erat-erat. Ia menghirup aroma rambut Senara—aroma damai yang tidak ia temukan di mana pun di dunia. “Aku kembali, Nara-chan. Aku menepati janjiku,” bisik Renji, suaranya parau.
Lukas, yang menyaksikan adegan itu, merasa beban yang menindih dadanya semalam terangkat.
Sementara itu, Bawan hanya berdiri diam, canggung. Ia melihat bagaimana seorang perwira militer bisa memiliki kelembutan sedalam itu. Luka di kepalanya nyeri, tetapi hatinya lebih terasa nyeri karena rasa malu.
Ia nyaris roboh saat lengan-lengan kuat para pemuda menyambutnya. Wajahnya kotor, bibir pecah, tapi matanya menyalakan bara hidup kembali.
“Anakku… anakku kembali!” seorang wanita tua langsung menubruk, memeluknya erat. Bawan menunduk, menahan isak, tangannya gemetar meraih tangan ibunya.
Para tetua, termasuk Apa’ Bujang dan Apa’ Bide, segera berkumpul. Wajah mereka menunjukkan kelegaan yang luar biasa.
“Kau… kau berhasil, Tentara!” bisik Apa’ Bujang, matanya berkaca-kaca.
Kerumunan bersorak dan bertepuk tangan, beberapa menangis lega. Bahkan para lelaki yang biasanya keras, malam itu membiarkan air mata mereka jatuh.
Di antara mereka, tiga pemuda berdiri agak belakang.