Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #91

Kemenangan Tanpa Peluru

Hening malam dipecahkan oleh suara langkah-langkah berat di jalan setapak. Dari kejauhan, Senara bisa melihat kilatan cahaya—bayangan helm baja dan laras senapan. Pasukan Jepang itu benar-benar kembali.

Ero yang menjadi pengintai terdepan memberi isyarat senyap. Tiga Belas Prajurit.

Renji mengangguk tipis. Mereka datang, tetapi jumlahnya tidak besar—seperti yang ia duga. Mereka adalah unit kecil yang marah dan terburu-buru, bukan pasukan penyerbu resmi.

Pasukan kecil ini dipimpin oleh seorang Gunso—Sersan, yang bernama Yamamoto, perwira lapangan yang dikirim untuk menghukum desa.

Renji menghela napas pelan, matanya menyipit, ada sesuatu yang tertangkap instingnya sebagai prajurit berpengalaman.

“Lihat cara mereka berjalan,” bisiknya ke Lukas. “Kaki terseret, punggung membungkuk. Itu bukan pasukan inti.”

Lukas menoleh, cemas. “Maksud Sensei?”

Renji menunjuk dengan dagu, matanya tajam.

“Kalau yang datang prajurit inti, kita sudah mati sejak sergapan pertama. Lihat tangan mereka menggenggam senjata—gemetar, tak terlatih. Banyak dari mereka bukan veteran… hanya buruh yang dipaksa angkat senjata.”

Bawan yang baru pulih ikut menyahut, suaranya rendah. “Tapi mereka tetap bersenjata. Tetap bisa membunuh.”

Renji mengangguk. “Ya. Karena itu kita tidak melawan mereka secara frontal. Kita beri mereka rasa lapar lebih dalam, rasa takut lebih gelap. Kita perang bukan dengan pedang… tapi dengan waktu.”

Ia lalu memberi aba-aba pada murid-muridnya. Di sekeliling desa, para pemuda yang baru beberapa hari dilatih mulai bergerak. Menutup jebakan parit, menegakkan bambu runcing, menyembunyikan panah sederhana di balik semak. Desa tampak sunyi, seolah ditinggalkan.

Lukas mengeratkan pegangan pada mandaunya. “Jadi Sensei… betul-betul ingin desa ini kosong?”

“Bukan kosong,” jawab Renji, lirih. “Hanya tak terlihat. Biarkan mereka masuk, biarkan amarah mereka menuntun kaki ke jebakan. Malam akan mengurus sisanya.”

Seolah menjawab kata-katanya, suara teriakan kasar tentara Jepang menggema, bercampur bunyi perut yang keroncongan. Renji tahu... ini bukan perang mempertahankan kehormatan, melainkan permainan akal untuk menjatuhkan musuh yang datang hanya karena gengsi.

Sersan Yamamoto dan pasukannya masuk dengan amarah, tapi yang mereka temui justru jerat-jerat samar. Derak bambu yang menggema seperti puluhan musuh, boneka jerami berlumur cat merah yang bergoyang di kabut, hingga jebakan lumpur yang menelan kaki prajurit.

Beberapa prajurit terjerembap, terluka, dan berteriak ketakutan, seakan dikepung hantu. Mereka mulai sadar—ini bukan desa bodoh yang bisa ditaklukkan hanya dalam sekali bentak.

Lihat selengkapnya