Renji terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang.
“Menaklukkan desa kecil ini butuh tenaga dan biaya yang lebih banyak daripada hasilnya. Mereka punya perang lebih besar yang harus dipikirkan. Untuk kita… ini mungkin akhir dari ancaman itu.”
Keheningan singkat turun di tengah kerumunan. Lalu, satu per satu, orang-orang mulai tersenyum. Ada yang menangis lega, ada yang memeluk keluarganya lebih erat. Sorak-sorai kembali meledak, tapi kali ini dengan rasa syukur—bukan sekadar kemenangan, melainkan karena mereka sadar hidup mereka masih berlanjut.
Di tengah lingkaran api unggun, suara-suara bersahutan, seolah ingin menebus tahun-tahun bisu di bawah pendudukan.
“Rasakan itu, penjajah!” seru seorang pemuda, suaranya pecah karena kebahagiaan yang meluap. “Sekarang mereka tahu bagaimana rasanya direndahkan!”
“Kini giliran mereka yang lapar dan ketakutan!”
“Kaisar kalian bisa apa sekarang, hah?”
Suara-suara itu makin riuh. Beberapa wanita yang selama ini menyembunyikan wajah mereka di balik selendang kini berani menatap langit, tertawa hingga air mata menetes.
Ada rasa puas yang liar, ada luka lama yang tumpah bersama tawa mereka.
Namun di antara sorak itu, Renji hanya menatap api unggun yang makin membesar. Kemeja putihnya yang usang, dengan lengan tergulung sampai siku, bergetar pelan tertiup angin malam. Matanya teduh, tapi di balik ketenangan itu tersimpan sesuatu yang lebih berat dari kesedihan.
Ia menatap keramaian itu dalam diam, seperti seseorang yang mendengar kabar kematian keluarganya sendiri di tengah pesta orang lain.
Senyumnya tidak pernah terbit.
Hanya matanya yang bergerak pelan, menatap tanah, menatap langit, lalu memaku pandangan pada api.
Ero, yang baru saja meneguk tuak dari tempurung kelapa, ikut terbawa suasana. Ia tertawa keras, suaranya pecah dan agak mabuk.
“Haha! Jadi begini rasanya, ya? Jepang kalah! Hei, mungkin sekarang Kaisar mereka sudah sembunyi di bawah kasur. Tak lama lagi para tentara akan kembali ke Jepang dengan tangan kosong! Kapal mereka tenggelam, bahan bakarnya habis! Paling-paling mereka bawa cacing di perut sebagai oleh-oleh!”
Beberapa orang menimpali dengan tawa.
“Atau sudah loncat ke laut, Ro!”
“Atau dikutuk jadi babi hutan!”
Tawa pecah lagi.
Lukas berdiri di sisi seberang api unggun, Matanya tertuju pada wajah Renji.
Renji hanya menunduk. Bayangan api unggun memantul di matanya yang redup. Wajahnya pias. Meskipun ia telah mengkhianati misi militernya, bagaimanapun, ia adalah Takeyama Renji—seorang prajurit Jepang, perwira yang pernah bersumpah setia pada Kaisar. Mendengar bangsanya dicerca dengan cara yang kasar, bahkan di tengah segala pembenaran, tetap menusuk perasaannya.
Lukas menarik napas. Ia menatap tajam ke arah Ero.
“Ro...”
Suaranya rendah tapi tegas. Memberi isyarat pada Ero agar berhenti bicara dengan menggeleng pelan.
Ero, yang masih terkekeh, berhenti separuh tawa. “Hah? Kenapa, Lukas?”