Keheningan panjang jatuh di antara mereka.
Suara jangkrik mengisi jeda.
Rokok di tangan Renji hampir habis.
Ia melemparkannya ke tanah, menginjak bara kecil itu sampai mati.
“Nara-chan,” katanya lirih lagi, “semua hanya tinggal menunggu waktu. Aku merasa semuanya perlahan menuju akhir.”
Senara menatapnya, wajahnya menegang.
“Jangan bicara begitu, Renji…”
Tapi Renji hanya tersenyum lembut.
Ia mengangkat tangan, membelai pipi Senara perlahan—gerakan yang begitu ringan tapi penuh kasih.
“Kalau benar Jepang kalah di mana-mana,” katanya akhirnya, “maka semua pasukan yang tersisa akan segera dipanggil pulang. Termasuk desertir seperti aku.”
“Tidak!” potong Senara cepat. Ia menggenggam tangan Renji erat-erat. Matanya mulai memanas. “Kau bukan bagian dari mereka lagi, Renji. Kau milikku.”
Renji menatap wajahnya lama. Ada kelembutan yang dalam di sana, tapi juga pengakuan getir atas sesuatu yang tak bisa ia sangkal.
“Aku prajurit Jepang, Nara-chan. Apa pun yang terjadi pada negeriku… aku tetap menanggungnya.”
“Tapi di sini kau dibutuhkan.”
“Dan di sana… aku harus menebus.”
Senara menggeleng, air matanya hampir jatuh.
Tangannya menggenggam kemeja usang Renji, menariknya mendekat.
“Kalau pun dunia membencimu, aku tidak akan.”
Renji menunduk, keningnya menyentuh kening Senara.
Mereka terdiam lama, hanya suara api dan jangkrik yang mengisi ruang di antara napas mereka.