Senyum tipis dan lega terukir di wajah Renji. Itu adalah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada mundurnya Sersan Yamamoto.
Lukas, Ero, dan Jau menatap dengan campuran kaget dan kagum. Mereka tidak pernah melihat Bawan menunjukkan sikap seperti ini terhadap siapa pun—apalagi seorang asing yang dulu mereka benci sebagai tentara Jepang.
Tanpa berkata-kata, Bawan melangkah mundur. Ia dan beberapa pemuda yang mengikutinya tadi berbaris rapi, tepat di belakang Lukas, Ero, dan Jau. Mereka tidak perlu bicara banyak. Tapi gestur mereka jelas... mereka datang untuk minta dilatih.
Lukas menunduk, tersenyum diam-diam. Sesuatu yang hangat mengalir dalam hatinya. Mereka kini tidak lagi hanya tiga orang yang berlatih secara sembunyi-sembunyi. Mereka adalah sebuah unit.
Renji menunduk sebentar, lalu mengangkat tangan, memberi isyarat agar semuanya bersiap.
“Mulai hari ini, kalian semua akan belajar,” ucap Renji, suaranya lembut tapi tegas. “Bukan hanya ilmu bela diri, tapi juga disiplin, ketekunan, dan rasa hormat. Kita belajar sebagai satu kelompok, satu keluarga. Mengerti?”
Semua murid—baik yang lama maupun baru—mengangguk, wajah mereka bercampur antara gugup, semangat, dan sedikit ketegangan karena mereka belum pernah berlatih dengan seorang sensei asing.
Bawan menatap Renji sekali lagi, kali ini senyumnya samar tapi tulus. “Sensei… aku percaya kepada kata-katamu,” katanya. “Ajari mereka. Ajari kami semua.”
Renji mengangguk, menaruh tangan di pinggulnya. Ia merasa sesuatu yang hangat merayap di dadanya, rasa lega dan tanggung jawab bercampur. Desa ini… bukan hanya memberinya rumah, tapi hari ini, mereka juga memberinya keluarga baru. Anak-anak dan pemuda yang akan ia latih, yang akan melihatnya bukan sebagai tentara Jepang yang menakutkan, tapi sebagai guru, pelindung, dan teman.
Latihan pun dimulai lagi. Kali ini, lebih ramai, lebih hidup. Teriakan perintah Renji bersatu dengan suara langkah, hentakan kaki, dan tawa kecil yang sesekali terdengar dari murid baru yang mencoba menyesuaikan diri. Setiap gerakan menjadi tarian keharmonisan antara pengalaman dan rasa hormat, antara seorang guru yang penuh disiplin dan murid-murid yang haus akan ilmu dan pengakuan.
Di tengah semua itu, Renji menyadari—pondok itu bukan lagi sekadar tempat tinggal. Ia telah berubah menjadi cermin dari rasa hormat dan kepercayaan yang kini benar-benar ia rasakan.
Dan Bawan yang berdiri di belakang, tersenyum tipis, hanya menatap Renji. Tanpa kata-kata lagi, penghormatan dan penerimaan sudah tersampaikan.
***
Penerimaan Bawan dan para pemuda menjadi sebuah titik balik yang tak terucapkan di desa itu. Renji tidak lagi menjadi “orang asing” yang ditoleransi. Ia telah menjadi Sensei yang dihormati dan bagian yang tak terpisahkan dari struktur pelindung komunitas.
Hubungan Renji dengan Senara pun memasuki babak yang lebih terang. Tak ada lagi pertemuan rahasia di bawah rembulan, tak ada lagi bisikan yang dicuri-curi di balik punggung warga.
Adat tetap dipatuhi—seorang pria dan wanita yang belum terikat dalam pernikahan, apalagi dengan kehamilan yang kian membesar, tidak diizinkan untuk tinggal bersama—tetapi kini mereka diberikan keleluasaan dan restu tak tertulis dari seluruh desa.
Senara, dengan perutnya yang kian membulat, sesekali datang ke pondok Renji, membawa bekal makanan yang ia siapkan di Radakng. Kedatangannya tidak lagi ditanggapi dengan tatapan mencurigakan, melainkan dengan senyum penuh arti dari para pemuda yang sedang berlatih. Mereka adalah keluarganya.
Di lain waktu, Renji yang berjalan santai menuju Radakng. Ia tidak datang untuk menemui Senara secara khusus di dalam rumah panjang, tetapi ia datang untuk mengajar atau berdiskusi dengan Apa’ Bujang dan Lukas. Kehadirannya telah menjadi hal yang lumrah, seolah-olah ia selalu ada di sana.
Pagi itu sebelum para pemuda datang, Renji sedang memperbaiki gagang mandau milik Lukas ketika suara langkah dari jalan tanah membuatnya menoleh cepat. Suara itu bukan langkah biasa — lebih lambat, hati-hati, tapi ada irama yang ia kenal baik.
Begitu melihat siapa yang datang dari balik semak, jantungnya berdebar seperti orang baru pertama kali berperang.
“Nara-chan…”
Wanita itu muncul dengan rambut yang dikepang longgar, pipinya memerah oleh sinar pagi, dan tangan kirinya memanggul seikat sayur serta bambu muda di pundak. Perutnya tampak besar di balik kain sederhana yang membungkus tubuh mungilnya.
Renji spontan berdiri.