Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #95

Penerimaan dan Janji

Puncak dari penerimaan ini adalah saat Apa’ Bujang mengundang Renji untuk berpartisipasi dalam perburuan jauh—ekspedisi berhari-hari yang membawa rombongan pria desa masuk jauh ke jantung hutan untuk mencari hewan buruan besar atau mencari hasil hutan yang langka.

​Berburu adalah ritual terpenting dan sakral bagi komunitas. Mengundang Renji berarti memberikan kepercayaan penuh pada kemampuannya untuk melindungi, dan yang lebih penting, mengujinya di luar batas desa.

“Kau harus ikut berburu kali ini, Sensei. Katanya kau pandai mengintai di hutan?” ujar Lukas ikut membujuk.

“Pandai?” Renji tersenyum kecil. “Aku hanya tahu cara berjalan tanpa membuat daun bergeser.”

“Nah, itu artinya kau cocok ikut kami.”

​Dan benar—subuh itu saat kabut masih menyelimuti Radakng, rombongan berburu bersiap. Renji berdiri di antara Apa’ Bujang dan Lukas, ia kini mengenakan pakaian yang ia punya—celana panjang dan kemeja lusuh yang ia dapat dari pertukaran. Ia membawa tombak kayu di tangannya.

​“Kau yakin, Sensei?” tanya Lukas, tersenyum bangga. “Hutan jauh bukan tempat untuk ilmu bela diri. Itu tempat untuk ilmu kesabaran dan indra.”

​“Aku siap belajar ilmu kesabaran dan indra,” jawab Renji, matanya tajam dan dipenuhi rasa ingin tahu.

Mereka berjalan berjam-jam, menembus rimba yang sepi. Burung-burung memecah sunyi dari atas. Renji tak banyak bicara, hanya memperhatikan. Di sela langkahnya, ia mengingat medan perang di masa lalu — tapi kini, suara ranting patah bukan lagi tanda bahaya, melainkan bagian dari hidup yang damai.

​Sepanjang perjalanan berhari-hari itu, Renji membuktikan dirinya bukan hanya sebagai prajurit. Ia bukan hanya mampu berjalan tanpa lelah, tetapi matanya yang tajam yang terlatih dalam perang justru berguna untuk melacak jejak. Pengetahuannya tentang strategi membuat mereka bergerak lebih efisien.

​Di tepi api unggun di tengah hutan, Apa’ Bujang menatap Renji dengan rasa hormat yang mendalam. Renji bukan lagi tentara Jepang yang sombong. Ia adalah seorang pria, seorang pemburu yang rendah hati.

​“Kau lebih dari sekadar prajurit,” kata Apa’ Bujang suatu malam, saat mereka berbagi daging hasil buruan.

​“Aku hanya mencoba berguna, Tuan,” balas Renji.

Apa’ Bujang diam sejenak, lalu… tertawa kecil. Tawa itu bukan mengejek, tapi hangat dan tulus, seperti suara ayah yang baru mendengar ucapan lucu dari anaknya.

Renji menatapnya bingung, keningnya berkerut — antara heran dan tak tahu harus ikut tersenyum atau tidak.

“Apa yang lucu, Tuan?”

Apa’ Bujang menatapnya sambil menggeleng pelan, masih dengan senyum di bibirnya.

“Kau masih saja memanggil aku Tuan, padahal sekarang kau sudah jadi bagian dari kami, Tentara.”

Renji menatap Lukas, yang hanya mengangguk pelan dari seberang api, mengisyaratkan bahwa ini adalah tradisi.

​Apa' Bujang menyambung, “Semua orang memanggilku Apa’. Kau juga boleh.”

Renji tertegun. Kata-kata itu menembus lebih dalam dari yang ia sangka. Ia butuh waktu beberapa detik untuk memprosesnya, lalu perlahan ia tersenyum.

Lihat selengkapnya