Malam itu, setelah Senara pulang, Renji duduk di depan pondoknya sendirian. Api kecil dari obor bambu menari-nari di depan mata. Ia teringat wajah Senara, tawa anak-anak desa, suara para pemuda yang memanggilnya Sensei.
Semuanya terasa nyata. Tapi di sudut hatinya, masih ada bayangan samar — lautan Jepang yang jauh, kuil tempat ibunya dulu berdoa, dan halaman rumah tua di Tokyo, tempat salju musim dingin pernah jatuh di antara pohon sakura yang gundul.
Renji menatap langit gelap yang penuh bintang, lalu berbisik pelan, nyaris seperti doa. Seakan ia sedang berbicara langsung dengan ibunya.
“Okaa-san... jika aku benar-benar menemukan kedamaian di sini, apakah itu salah?”
Angin hutan menjawabnya dengan lembut, membawa aroma tanah dan daun muda.
Dan malam itu, Renji akhirnya tahu — di bumi yang jauh dari tempat asalnya, ia sedang belajar arti pulang.
***
Beberapa hari setelah Renji pulang berburu, dan setelah momen janji bunga liar, ia menemui Senara di tepi sungai menjelang senja. Tempat itu adalah tempat yang paling ia suka. Suara air mengalir menenangkan, dan cahaya sore selalu melukis wajah Senara dengan kehangatan.
Senara sedang duduk di batu besar, kakinya sedikit terendam. Ia tertawa melihat Renji mendekat, tetapi kehamilannya yang kian membesar membuat gerakannya lambat.
Renji segera duduk di sampingnya, memeluk Senara dari belakang. Ia menyandarkan dagunya di bahu Senara, tangannya melingkari perutnya yang besar. Rasa lelahnya setelah melatih para pemuda desa seolah lenyap hanya dengan kehangatan tubuh gadis itu.
“Kau lelah?” bisik Renji.
“Tidak,” jawab Senara lembut. “Dia aktif sekali hari ini.”
“Siapa?”
“Anakmu,” balas Senara, senyumnya tipis.
Renji tertawa, mencium puncak kepala Senara. Tiba-tiba, ia merasakan ada gerakan kecil yang sangat jelas di bawah telapak tangannya. Gerakan itu berbeda dari gejolak biasa—ini adalah sentuhan yang terarah, sebuah hentakan kecil, seolah menyapa. Renji menegang, menarik tangannya cepat-cepat.
“Apa itu?” tanya Renji, terkejut. Matanya melebar penuh keheranan, seperti ia baru saja melihat fenomena alam yang luar biasa.
Senara tertawa melihat kepanikan Renji. “Itu dia. Anakmu menyapamu.”
Renji ragu-ragu, lalu meletakkan tangannya kembali di perut Senara. Ia menahan napas, seluruh fokusnya terpusat pada momen itu. Tak lama kemudian, tendangan kecil yang jelas kembali terasa, seperti sebuah janji yang disuarakan dari dalam rahim.
Air mata Renji menggenang. Air mata yang tidak pernah keluar saat ia dihajar Souta, air mata yang ia tahan saat mendengar kekalahan negerinya, kini tumpah karena sebuah gerakan kecil penuh kehidupan. Ia mencium perut Senara, berkali-kali.
“Terima kasih,” bisik Renji, suaranya serak dan gemetar. “Terima kasih, Nara-chan.”
Senara tidak berkata apa-apa. Ia hanya memeluk kepala Renji di perutnya, membiarkan pria itu menangis dalam diam, merayakan keajaiban yang akan mengikat mereka selamanya.
***