Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #97

Restu Dari Desa

Renji tersentak dan segera menoleh. “Uwe’...,” sapanya, segera berdiri dan menunduk hormat.

​Uwe’ Lami hanya tersenyum bijak. Ia menunjuk Senara dengan dagunya. “Gadis kecil itu adalah bunga yang mekar di musim kemarau. Kau beruntung.”

​Renji kembali menatap Senara, lalu menghela napas panjang. Ia menundukkan kepala, mengakhiri senyumnya. Senyum yang jarang ia tunjukkan di depan siapa pun.

“Kau melihatnya dari tadi?” tanya Uwe’ Lami, seakan menggoda.

Renji menunduk dalam-dalam. “Ah, Uwe’. Aku hanya... melihat mereka tertawa. Sudah lama tak mendengar tawa seperti itu.”

Uwe’ Lami tersenyum samar. “Tawa Senara, maksudmu?”

Renji tak menjawab. Tapi pipinya yang memerah dan senyum malu-malu di bibirnya sudah cukup jadi jawaban. Uwe’ Lami mendekat, duduk di sebelahnya.

“Sudah lama aku ingin bertanya,” katanya pelan, suaranya nyaris terselip di antara desir angin. “Kapan kau berniat menikahi gadis kecil itu?”

Renji menunduk semakin dalam. Jantungnya berdebar tak karuan, bukan karena takut, tapi karena malu. Kata-kata itu seperti sebuah pintu yang selama ini takut ia buka.

“Aku...” ia berhenti sejenak, mengatur napas. “Aku ingin, Uwe’. Setiap hari aku berpikir tentang itu. Tapi aku... tak punya apa-apa.”

Ia mengangkat bahu, menunjukkan ketidakberdayaan. Semua identitas militernya telah ia lepas, dan sebagai gantinya, ia hanya memiliki ilmu dan Katana yang baru saja dikembalikan.

Uwe’ Lami menatap wajah Renji lama, matanya teduh tapi tajam seperti mata seorang ibu yang tahu lebih banyak daripada yang diucapkan. “Tak punya apa-apa, bagaimana maksudmu?”

“Tidak punya rumah sendiri, tidak punya harta, tidak ada mas kawin, tidak ada biaya untuk pernikahan yang layak,” jawab Renji pelan, suaranya nyaris tenggelam. “Aku ingin menjadi pria yang pantas untuknya. Tapi sampai sekarang, aku masih menumpang tinggal di pondok milik desa ini.”

Uwe’ Lami tersenyum tipis. ​“Kau punya kami,” kata Uwe’ Lami, menatapnya lurus-lurus. Kalimatnya adalah sebuah pernyataan yang tak terbantahkan. “Kau adalah keluarga kami. Kau menyelamatkan anak-anak kami. Mengajari mereka cara bertahan hidup.”

​Uwe’ Lami menyentuh lengan Renji. “Kau pikir kami akan membiarkan pernikahan ini batal hanya karena uang? Jangan bodoh, Nak. Kami sudah melihat banyak emas yang hilang, tapi kami belum pernah melihat seorang laki-laki asing yang rela mati untuk tanah ini.”

​Mata Renji basah. Ia telah menerima Katana, tetapi kalimat ini lebih berharga daripada pedang mana pun.

“Anak muda,” lanjut Uwe’ Lami, “menikah bukan Cuma soal pakaian atau pesta. Memang, adat kita mengajarkan bahwa pernikahan itu harus dirayakan dengan hormat—tapi lebih penting dari itu... adalah niatnya. Kau mencintai Senara?”

Renji menjawab tanpa ragu, “Lebih dari hidupku sendiri.”

“Kalau begitu,” kata Uwe’ Lami sambil menepuk bahunya, “kami yang akan bantu.”

Lihat selengkapnya