Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #98

Yang Dinanti di Tengah Bahaya

“Kak Senara… Kak Senara sudah sakit perut dari tadi subuh… darahnya keluar banyak! Bayinya… bayinya mau lahir. Cepat, Sensei!”

Bambu di tangan Renji jatuh.

Satu detik ia terpaku, dan di detik berikutnya kakinya sudah berlari tanpa pikir panjang.

Lukas masih memanggil dari belakang, tapi suara itu tertelan oleh degup jantung yang menggema di telinganya sendiri.

Jalan setapak dari tanah liat itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah seperti menamparkan rasa takut ke dada. Tujuh bulan… baru tujuh bulan, batinnya. Belum waktunya… belum waktunya, Tuhan.

Rasa panik yang ia rasakan jauh lebih buruk daripada saat ia menghadapi satu kompi tentara musuh. Di medan perang, ia tahu musuhnya. Di sini, ia menghadapi takdir. Dan takdir... tidak bisa ia tebas dengan Katana.

Ketika akhirnya sampai di rumah panggung Uwe’ Lami, aroma rebusan air panas, darah, dan obat kampung langsung menyambutnya. Ia naik ke tangga tanpa memedulikan siapa pun.

Begitu ia menembus pintu, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat napasnya tercekat.

Senara terbaring di atas tikar pandan, wajahnya pucat, keringat bercucuran, rambutnya menempel di pelipis. Tubuhnya menggigil, dan di bawah selimut lusuh itu, noda merah sudah mulai tampak.

“Nara-chan!” suaranya pecah.

Di dalam, beberapa perempuan tengah berkerumun. Uwe’ Lami menatap Renji dengan mata yang sudah berlinang tapi tetap tegar. Di sudut ruangan, seorang tabib kampung sedang menyiapkan peralatan seadanya.

Renji berlutut di sisi Senara, menggenggam tangannya yang dingin.

“Nara-chan, aku di sini… aku di sini,” bisiknya dengan suara yang bergetar. Tapi Senara hanya meringis pelan, bibirnya gemetar antara doa dan rintihan.

Tabib desa itu segera berbicara, suaranya sangat serius.

“Kontraksi datang terlalu cepat. Tubuh Senara sangat lemah. Dan bayi ini… dia belum matang. Ukurannya terlalu kecil. Risiko pendarahan dan infeksi bagi keduanya sangat tinggi. Kita harus memilih.. hentikan pendarahan dan kuatkan ibunya, atau bantu bayi keluar sebelum mati kehabisan udara.”

​Keheningan melilit ruangan. Senara memejamkan mata, isaknya pecah.

Renji mendongak cepat, napasnya tercekat. “Apa maksud Anda… memilih?”

Tabib menunduk. “Aku tak punya cukup alat. Tak ada bidan atau dokter yang bisa datang dari kota sekarang. Kalau kita fokus selamatkan bayi, ibunya mungkin tak bisa bertahan. Tapi kalau kita hentikan pendarahan, bayi bisa mati dalam kandungan.”

Sunyi. Hanya suara tangis lirih Senara dan gemerisik kain basah yang penuh darah.

Renji menggenggam tangan Senara lebih erat.

Ia menatap wajah itu—wajah yang dulu menyelamatkannya dari tepi jurang, yang menuntun langkahnya kembali menjadi manusia setelah perang menelannya hidup-hidup.

Dan di situ, ia tahu jawabannya.

Lihat selengkapnya