Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #99

Haruki

Renji terkejut, langsung menegakkan punggung. Air mata bahagia yang tak terkendali tumpah, membasahi wajahnya. Ia menciumi tangan Senara, wajahnya, keningnya.

“Nara-chan! Nara-chan! Kau sadar! Terima kasih Tuhan!”

Senara hanya tersenyum, kelelahan, tapi matanya bersinar. “Aku sudah bilang, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku harus kuat, demi kau… dan anak kita.”

Renji menangis seperti anak kecil. Ia mencium tangan, pipi, lalu kening Senara berkali-kali. “Terima kasih… terima kasih… aku tak tahu harus bilang apa…”

Senara hanya menggeleng pelan. “Sudahlah… aku masih di sini, Renji.”

**

Paginya, Senara sudah bisa duduk bersandar dengan bantuan bantal. Wajahnya masih pucat, tapi ada cahaya baru di matanya.

Uwe’ Lami datang membawa kain kecil berwarna putih. Di dalamnya, bayi mungil itu tampak tidur tenang, dibungkus rapat dengan selendang tua.

“Anakku,” kata Uwe’ Lami dengan senyum lebar, “apa sekarang kau sudah siap melihat darah dagingmu sendiri?”

Renji tertegun, lalu menoleh ke Senara.

Perempuan itu mengangguk pelan, masih tampak lemah tapi matanya hangat.

Renji mengangguk cepat. Ia menerima bayi itu dengan hati-hati, seolah sedang memegang seluruh dunia dalam kedua tangannya. Tubuh itu kecil sekali, tapi hangat. Napasnya halus, matanya sesekali bergerak di balik kelopak yang tertutup. Ada campuran rasa kagum, takut, dan cinta yang tulus dari mata Renji.

“Dia laki-laki,” kata Uwe’ Lami sambil terkekeh pelan. “Tadi malam kau begitu keras kepala tak mau menyentuhnya, padahal lihatlah, dia ini menunggu sejak lahir untuk berada di pelukanmu.”

Uwe’ Lami menambahkan. “Meskipun kecil dan lahir tidak cukup bulan, dia kuat. Kami sudah memeriksanya. Dia sehat, hanya perlu dirawat dengan benar. Dia mewarisi kekuatan ibunya.”

Renji menatap bayinya. Ia melihat rambut hitam lebat, dan warna kulit yang putih kemerahan—rapuh, sesuai dengan kondisi lahir prematurnya, namun jelas mewarisi sifat Asia Timur yang ia miliki.

Renji menunduk, bangga luar biasa. Ia, seorang mantan perwira Kekaisaran yang lari dari perang, sekarang menjadi seorang ayah. Perasaan ini jauh lebih membahagiakan, lebih nyata, daripada saat ia dulu lulus sekolah Perwira dengan kehormatan membanggakan di Jepang.

“Kau sudah menyiapkan nama?” tanya Uwe’ Lami.

Renji mengangguk, lalu menatap wajah mungil itu lama sekali.

“Aku ingin memberi nama untuknya,” katanya lirih. “Haru-ki.”

“Haruki?” Senara menatapnya pelan, senyumnya lembut. “Apa artinya?”

Renji mengelus pipi anak itu dengan ibu jarinya. “Dalam bahasaku… Haru berarti musim semi, dan Ki artinya harapan atau kehidupan. Aku ingin dia tumbuh seperti musim semi setelah perang—membawa kehidupan baru.”

Lihat selengkapnya