Embun masih menempel di dedaunan. Udara lembap dan sejuk mengalir masuk lewat jendela bambu yang setengah terbuka. Suara ayam jantan dari kejauhan menyatu dengan desiran angin yang lembut, menandai pagi yang damai setelah hari-hari panjang penuh doa.
Renji masih terlelap di samping dipan. Kepalanya bersandar di ujung kasur, tangan kanannya masih menggenggam jari Senara, seolah takut kehilangan lagi kalau terlepas.
Cahaya pagi perlahan menyusup ke wajahnya yang tenang—lelaki itu tampak lebih muda, lebih manusiawi, tanpa seragam dan tanpa perang.
Suara lirih kecil memecah keheningan itu.
Tangisan bayi.
Pelan, ragu, seperti suara kehidupan yang baru belajar berbicara.
Senara sudah terbangun lebih dulu. Ia mencoba menenangkan Haruki yang menggeliat dalam gendongan, tapi tangisnya justru semakin keras.
Renji tersentak bangun, panik. “Apa... dia kenapa?” suaranya serak, matanya masih separuh sadar.
“Dia lapar, mungkin,” jawab Senara lembut sambil mencoba mengelus dada anaknya. “Atau... hanya ingin digendong ayahnya.”
Nada menggoda itu membuat Renji langsung menegakkan badan, bingung harus melakukan apa.
“Ayahnya?” Ia menunjuk dirinya sendiri.
Senara menahan tawa. “Iya, kau.”
Renji menatap bayi itu lama. Tangannya sempat ragu-ragu, tapi akhirnya ia memberanikan diri untuk mengangkat Haruki dari pangkuan Senara. Tubuh kecil itu terasa sangat ringan, nyaris seperti kapas—tapi panasnya hidup begitu jelas terasa di telapak tangan Renji.
Haruki masih menangis pelan. Renji menggendong dengan kikuk, posisi tangannya kaku, seolah memegang senjata baru yang belum dikuasai.
“Kau lihat? Dia tidak suka,” kata Renji panik.
Senara tersenyum samar. “Dia tidak menolak. Kau saja yang takut.”
Renji menarik napas dalam-dalam, menatap bayi itu lekat-lekat. “Hey, hey... Haru-chan,” bisiknya dengan bahasa Jepang yang lembut. “Otou-san da yo. Ini aku. Ayahmu.”
Tangannya menggoyang perlahan, seperti menimang. Tangisan kecil itu mereda sedikit, lalu berhenti sama sekali.
Senara memperhatikan pemandangan itu dengan senyum yang nyaris berair. “Kau lihat? Dia tahu siapa kau.”
Renji masih belum percaya. Ia menatap anak itu lama sekali, seakan ingin memastikan semua ini nyata—bahwa tangan kecil yang menggenggam jarinya bukan sekadar mimpi setelah perang panjang.
Lalu ia tertawa pelan, dengan suara nyaris bergetar. “Dia... benar-benar berhenti menangis. Aku? Aku yang menenangkannya?”
Senara menatapnya lembut. “Kau ayahnya, Renji. Bukan hanya prajurit yang tersesat di negeri asing.”