Haruki terkejut. Meskipun ia tahu bahwa ia adalah subjek dari banyak kisah yang tidak pernah diceritakan utuh. Selama ini, ia selalu menghindar karena tidak ingin melihat air mata ibunya.
“Okaa-san,” balas Haruki, suaranya ragu. “Aku nggak mau Okaa-san sedih lagi.”
Ia menunduk sedikit. “Okaa-san nggak perlu memaksa. Aku tahu… banyak hal yang terlalu berat untuk dikenang.”
Senara menggeleng pelan, senyumnya teduh. “Justru karena itu aku harus menceritakannya. Agar semua yang pernah kami perjuangkan tidak hilang bersama waktu.”
Ia memandang Zalya yang menatap penuh kagum. “Dan agar cucumu ini tahu dari mana ia berasal.”
Zalya menggenggam tangan Senara. “Aku ingin tahu semuanya, Obaa-chan. Tentang cinta itu… tentang bagaimana semuanya berakhir.”
Haruki menatap ibunya lama. “Kalau begitu, biarkan aku mendengarnya juga. Mungkin sudah saatnya aku tahu seluruh kisah Otou-san dan Okaa-san, bukan Cuma potongan yang diceritakan waktu aku masih kecil.”
Senara menarik napas panjang, matanya basah tapi tenang. “Kau benar, Haruki. Sudah saatnya. Aku minta maaf karena selama ini terlalu takut membuatmu sedih.”
Haruki menggeleng cepat. “Nggak, jangan minta maaf. Aku yang harusnya berterima kasih. Karena dengan semua yang Okaa-san lalui, aku masih bisa duduk di sini hari ini.”
Suasana tiba-tiba menjadi hening lagi, tapi kali ini bukan karena duka—melainkan kedekatan yang tak perlu banyak kata.
“Kami baru sampai di musyawarah desa,” bisik Senara, matanya menatap Haruki. “Musyawarah yang diadakan setelah kau lahir. Saat itu, para tetua di kampung menuntut dua hal dari Ayahmu. Rumah dan keyakinan.”
Haruki mendengarkan, matanya terpaku pada ibunya.
“Mereka ingin membangun rumah untuk ayahmu di desa sebagai hadiah. Tapi dia menolak dan hanya meminta pondok yang waktu itu ia tempati sebagai tempat tinggal kami. Dia tidak mau menerima terlalu banyak. Lalu untuk menikahiku, para tetua memberi syarat…” Senara menelan ludah, air matanya kembali menggenang.
“Ayahmu harus menanggalkan identitas lamanya, dan memeluk keyakinanku. Kalau tidak, ia tidak akan bisa menikahiku.”
Haruki terdiam. Ia yang tumbuh besar dengan ajaran Islam dan nama Jepang, kini akhirnya mengerti akar ganda dalam jiwanya.
“Dan Otou-san?” tanya Haruki, suaranya sangat pelan.
Senara tersenyum, menyentuh pipi putranya. “Ayahmu... tidak ragu sedikit pun. Ia menanggalkan segalanya demi kita. Demi janji yang ia buat di dalam hatinya.”
Sunyi, tak ada satu pun yang bicara. Mereka bertiga, tiga generasi yang terhubung oleh cinta seorang prajurit dan pengorbanan sebuah desa.
“Maka setelah itu,” lanjut Senara, suaranya kini penuh kebanggaan, “Setelah Ayahmu bersyahadat, barulah kami merencanakan pernikahan. Tapi itu juga dilakukan secara rahasia, agar tidak ada lagi masalah.”