“Astaga, pertanyaan macam apa itu?” Uwe’ Lami tertawa lepas. “Tentu saja. Kau mau anakmu gatal-gatal seharian?”
Renji menelan ludah. “Tidak. Hanya saja—“
Uwe’ Lami memotong. “Ah, aku tahu kenapa dari tadi kau sangat cerewet. Kau takut anakmu ini patah di tanganku kan?” tanyanya, tanpa rasa tersinggung sama sekali, justru ia mengulum senyum geli.
“Bukan begitu Uwe’ —“
“Coba, kau yang mandikan. Belajar. Masa setiap kali anakmu mandi, kau Cuma berdiri di pintu?”
Renji bengong. “A-aku? Memandikan? Tapi... dia masih terlalu kecil. Aku takut—”
“Takut apa? Takut patah?” Uwe’ Lami terkekeh. “Tangan seorang ayah lebih lembut dari air, Anakku. Pegang baik-baik. Jangan kebanyakan pikir.”
Senara duduk di dekat tungku, memperhatikan dalam diam. Ada rasa lucu sekaligus haru melihat betapa gugupnya pria itu. Tangannya besar, tapi gerakannya lembut dan hati-hati—seolah Haruki adalah selembar kertas tipis yang bisa sobek hanya karena napasnya sendiri.
Saat air hangat menyentuh kulit bayi, Haruki berhenti menangis, seolah mengenali tangan itu.
Renji menatap, dan di matanya, ada sesuatu yang menyala. Bukan sekadar bangga, tapi rasa ingin melindungi yang murni, tenang, dan menakutkan karena begitu dalam.
Puncak kecanggungan Renji terjadi hampir setiap hari. Saat Haruki menangis karena lapar, Senara akan mengambilnya. Dengan gestur natural seorang ibu, ia duduk bersandar di dekat jendela, berusaha membuka kancing baju kurungnya dengan kikuk dan membiarkan Haruki menyusu.
Saat pertama kali adegan itu terjadi, Renji terpaku. Matanya melebar, wajahnya memerah total. Ia membeku di tempat, menatap siluet Senara.
Uwe’ Lami, yang kebetulan lewat langsung menepuk bahu Renji keras-keras.
“Oi, kalau mau lihat, tunggu giliran jadi suaminya dulu baru boleh!”
Renji tersentak, seperti disiram air dingin. Ia buru-buru memalingkan wajah.
“A–aku tidak—! Maksudku, aku Cuma—!”
“Heh, aku tahu matamu itu bukan mata nakal. Tapi tetap saja, jangan bengong begitu di depan ibu muda, bisa membuat kekasihmu malu, tahu!”
Senara menunduk cepat, pipinya merah, tapi ada senyum kecil di ujung bibirnya yang tak bisa ia tahan.
“Aku… aku harus memeriksa mandau Lukas!” Renji berdalih cepat, lalu buru-buru keluar rumah, mukanya hampir semerah bara tungku.
Sejak hari itu, setiap kali Haruki menangis di jam menyusui, Renji akan pura-pura sibuk di luar—entah menebas ilalang yang bahkan tak ada, atau membersihkan lantai pondok yang sudah bersih dari pagi.