Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #103

Melamar

Apa’ Bujang masih belum peka bahwa kehadirannya bisa mengacaukan momen Renji. “Aku Cuma mau tanya… latihan para pemuda kemarin… sudah berhasil belum?”

Renji menelan ludah keras. Kepala terasa berat, keringat menetes pelan dari pelipis. Uwe’ Lami muncul dari balik jemuran, matanya langsung menangkap kegugupan Renji yang jelas. Ia tahu persis apa yang hendak dilakukan pemuda itu. Dia menghampiri Apa’ Bujang dan menepuk bahunya.

​“Bujang! Kau ini kenapa tidak bilang kalau sudah di sini? Kau sudah ke tempat Bide?”

​“Sudah, barusan,” jawab Apa’ Bujang. “Dia suruh aku istirahat. Makanya aku mau lihat cucuku yang tampan ini.” Ia menyentuh lembut kaki Haruki, sama sekali tidak berniat pergi.

​Uwe’ Lami memejamkan mata sesaat, lalu menarik napas panjang. “Kau tidak lihat Haruki sudah bangun? Ayo, kita bawa dia jalan-jalan sedikit. Kasihan, dia bosan.”

Uwe’ Lami mengambil Haruki dari pangkuan Senara dan menarik tangan Apa’ Bujang.

Apa’ Bujang menatap Uwe’ Lami bingung. “Eh? Aku… aku cuma mau bicara dengan Tentara…”

Renji menunduk, memegang cincin lebih erat. Panik mulai menutupi wajahnya. Senara tetap duduk diam, menatapnya lembut, tersenyum tipis.

“Sudahlah, ayo ikut denganku bawa Haruki melihat pemandangan sore.” Uwe’ Lami kesal melihat Apa’ Bujang yang malah kembali duduk.

 “Tunggu dulu. Aku mau mendengarkan apa yang mau dibicarakan Tentara. Dari tadi dia seperti mau mengatakan hal penting, tapi terpotong-potong terus.”

Uwe’ Lami tidak tahan lagi. Ia menatap suaminya dengan mata tajam, sambil mengangkat dagu dan memberi kedipan mata halus ke Apa’ Bujang. Suaranya rendah, namun penuh peringatan. “Bujang…”

Apa’ Bujang, yang terkenal lugu, akhirnya terdiam. Perlahan, ia menangkap sinyal itu.

Matanya melebar. Ia menoleh ke Renji, melihat wajahnya yang memerah dan gemetar, lalu ke Senara yang masih tersenyum tipis. Baru ia menyadari bahwa ia mengganggu momen penting itu.

Wajahnya berubah. Ia menepuk kening. “Ah… iya… iya, aku pergi dulu…” kata Apa’ Bujang, suara canggung.

​Uwe’ Lami menatapnya, menunggu.

​“Aku tadi… tadi buang air besar di semak-semak dekat sungai, dan lupa... menimbun dengan tanah!” ujar Apa’ Bujang dengan suara lantang.

​Senara dan Renji terkesiap, hampir tertawa.

​Uwe’ Lami langsung melotot. “Bujang! Jadi kotoran yang kulihat kemarin di semak-semak itu kerjaanmu, ya? Astaga, sudah tua begini masih tidak tahu kebersihan!”

​Uwe’ Lami langsung menarik lengan suaminya menjauh. Mereka berdua bergegas pergi sambil membawa Haruki. Suara omelan Uwe’ Lami yang berteriak, “Bujang! Kau ini ya!” terdengar jelas saat mereka menjauh, diikuti tawa renyah Apa’ Bujang.

​Senara dan Renji saling pandang. Mereka berdua tertawa kecil, menyaksikan kekacauan rumah tangga di depan mata mereka.

​“Lihat, Haruki adalah alasan kenapa mereka akhirnya harus berdamai soal buang air besar,” kata Senara geli.

​Mereka tertawa pelan, ringan, sebelum keduanya menunduk. Hening.

Lihat selengkapnya