Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #104

Tanah, Keyakinan, dan Rumah Baru

“Lihatlah, Bujang,” bisik Uwe’ Lami, air matanya menetes bahagia. “Akhirnya anak itu mendapatkan rumahnya. Mereka saling mencintai.”

Apa’ Bujang, yang sedang menimang Haruki, mengangguk bangga. “Aku tahu tentara itu akan berhasil. Dia itu memang pria jantan. Hanya perlu sedikit dorongan.”

Uwe’ Lami mendengus mendengar pujian suaminya sendiri. Kebahagiaannya langsung meredup, digantikan ekspresi masam. Ia menunjuk ke arah semak-semak dengan dagu, matanya melotot.

“Jangan senang dulu!” bisik Uwe’ Lami tajam, nadanya kembali ke mode mengomel. “Urusan kita belum selesai, Bujang! Sekarang, urus anak ini, dan kau harus segera kembali ke semak-semak itu. Timbun semua kotoranmu dengan tanah! Aku tidak mau besok pagi kulihat lagi ada kotoranmu di situ!”

“Aduh, Uwe’...” rengek Apa’ Bujang. “Aku kan tadi buru-buru karena mau lihat Haruki...”

“Banyak omong!” potong Uwe’ Lami. “Alasanmu tidak bisa membersihkan kotoran. Kau harus bertanggungjawab dengan tanganmu, Bujang!”

Mereka pun berbalik, menikmati cahaya senja, dengan Apa’ Bujang yang masih diomeli sepanjang jalan. Haruki tampak tertawa kecil, seolah ikut menertawakan kakeknya sendiri.

Momen itu… sempurna dalam kesederhanaannya. Tidak mewah, tidak ramai, tapi penuh hati, penuh keberanian, dan—paling penting—penuh cinta.

​Semua sudah tahu bahwa mereka sudah resmi bertunangan. Kini, yang tersisa adalah musyawarah desa—Renji harus menghadapi takdirnya sebagai orang baru di tanah ini.

***

​Malam hari di Radakng. Suasananya formal dan tegang, jauh berbeda dari kehangatan lamaran personal beberapa hari yang lalu. Pelita diletakkan di tengah ruangan, memantulkan bayangan panjang di dinding papan.

Renji duduk bersila di depan sekelompok pria tua yang berwibawa—para Tetua Desa. Di sebelahnya, Lukas duduk, mewakili para pemuda dan sebagai pendamping Renji. Apa’ Bide memimpin, wajahnya tenang namun memancarkan ketegasan. Apa’ Bujang duduk di sampingnya, kini dengan ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan. Senara duduk di samping Uwe’ Lami, hatinya berdebar.

Apa’ Bide membuka pembicaraan dengan suara yang lambat dan berwibawa.

“Tentara,” kata Apa’ Bide. “Kami, para Tetua, telah menyaksikan ketulusanmu selama dua bulan ini. Kau merawat Haruki, kau membela desa, dan kau telah meminta hati anak kami, Senara.”

Renji menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Apa’ Bide. Aku datang malam ini untuk meminta izin resmi kalian agar aku bisa menjadi suami Senara.”

Apa’ Bide mengangguk. “Baik. Ada dua syarat mutlak yang harus kau penuhi. Ini bukan hanya masalah adat, tapi juga masalah keyakinan dan rumah.”

Apa’ Bide menarik napas. “Kau tahu, kalau kami di sini kebanyakan penganut ajaran lama dan sebagian besar sudah ikut gereja, kami tidak pernah mempermasalahkan perbedaan itu. Tapi Senara berbeda. Dia memang memiliki garis darah Dayak dari ibunya, namun darah Melayu dari ayahnya lebih kuat. Karena itu, sejak kecil ia mengikuti agama ayahnya—Islam. Kami menghormati keyakinan itu, dan kami tidak akan memaksanya. Pernikahanmu hanya bisa sah di mata Tuhan dan hukum, jika kau memeluk agama yang sama.”

Renji menatap Senara sekilas, yang memberinya senyum tenang.

Lihat selengkapnya