Cinta Terlarang di Tanah Jajahan

Desy Cichika
Chapter #105

Lahir Kembali

Musyawarah bubar. Renji berdiri, memandang Senara. Para pemuda menyambut saat mereka turun dari tangga.

“Selamat, Sensei! Semua lancar!” seru Lukas, menepuk bahu Renji keras-keras.

“Terima kasih, Lukas,” jawab Renji, wajahnya masih sedikit tegang karena formalitas rapat tadi.

Ero mendekat, senyum jahil tersungging di bibirnya. Ia memandang Renji, lalu memandang Senara dari atas ke bawah.

“Aku sudah bilang, Kak Senara tidak akan pernah membiarkan Sensei pergi.” Ero tertawa kecil, lalu menyikut lengan Renji.

“Tapi, Sensei,” lanjut Ero, nada suaranya berubah menjadi pelan, penuh makna tersembunyi. “Keputusan Sensei menolak rumah baru dan memilih pondok di tepi hutan itu… cerdas sekali.”

Renji mengernyit, tidak mengerti. “Kenapa cerdas?”

Ero tertawa terbahak-bahak. “Jelas cerdas, Sensei! Kalau Sensei tetap memilih rumah baru di tengah desa, nanti setiap malam penduduk desa tidak bisa tidur karena mendengar betapa ributnya kalian!”

Wajah Renji langsung memerah total. Ia terkesiap. Senara yang berdiri di sampingnya segera menundukkan kepala, pipinya serasa terbakar.

Ero melanjutkan, tanpa dosa. “Dilihat dari postur Sensei dan semangat Kak Senara, aku yakin, Sensei bisa membuat Kak Senara ‘melambung’ sampai ke atap hanya dengan satu gerakan. Jadi, pondok di tepi hutan itu pilihan yang tepat, Sensei. Jaga privasi desa, ya!”

Lukas dan Jau langsung menyeret Ero menjauh, menampar punggungnya keras-keras.

“Ero! Jaga mulutmu!” tegur Lukas, tapi ia menahan tawa.

“Apa? Aku kan bicara fakta!” teriak Ero saat diseret. “Sensei pasti sudah tak sabar, ingin cepat punya pondok sendiri di hutan, biar bebas melatih Kak Senara tiap malam, katanya latihan pernapasan!”

“Mulutmu itu, Ro…” Jau menjambak rambut Ero. Setengah kesal, setengah geli.

Ero masih berlagak tak bersalah. “Aku Cuma bilang, di sana mereka tak punya tetangga. Dan suara serangga di hutan itu keras, cocok buat menutupi—”

Jau refleks menutup mulut Ero, menyeretnya pergi. Lukas memandang Renji sebentar sebelum akhirnya berkata,

“Maaf Sensei. Biar anak antu itu kami yang urus. Kami akan ikat dia di pohon rambutan sampai digigit kerengga.”

Lukas membungkuk sedikit sebelum akhirnya berlari menyusul Jau yang membawa Ero.

Renji hanya bisa berdiri dengan wajah kaku seperti batu, tapi matanya menunjukkan campuran antara marah, malu, dan sedikit ingin tertawa. Senara mendongak, matanya berkaca-kaca karena menahan gelak.

“Kau… kau dengar itu, Nara-chan?” bisik Renji, suaranya parau.

Senara memukul pelan dada Renji. “Memalukan! Kenapa kau harus membuat keputusan yang memicu celetukan seperti itu?” Senara tidak bisa menahan tawa.

Renji menggeleng, berusaha mempertahankan kewibawaannya. “Aku tidak memikirkan itu. Aku memikirkan... keamanan!”

Senara tersenyum, lalu menarik tangan Renji menuju pondok mereka. “Aku tahu, aku tahu. Tapi sekarang, mari kita lihat pondok itu, Suami...”

Panggilan itu membuat Renji melupakan semua rasa malunya. Kata itu... Suami.

Di tengah malam yang sunyi, ia baru saja melepaskan segala yang ia miliki di masa lalu, demi mendapatkan cinta dan rumahnya yang baru.

***

Sinar matahari belum sepenuhnya menyentuh atap Radakng ketika Renji duduk di hadapan Ustadz, Penghulu, dan para Tetua yang datang sebagai saksi. Udara dingin pagi tidak mampu mendinginkan gejolak dalam dada Renji.

​Senara duduk di belakang, menatapnya dengan air mata bahagia yang tertahan. Renji menatap pria tua di depannya—pria yang datang dari kampung Melayu seberang demi memenuhi panggilan persaudaraan.

“Baiklah, Nak Renji,” ujar Ustadz Rahman lembut. “Ikuti kata-kata saya dengan pelan.”

Lihat selengkapnya