Semua ini terjadi, secepat angin.
Tiba-tiba, ingatannya melayang pada sang kakak. Muzaffar.
Ia tahu, Muzaffar pasti sedang tersenyum.
“Abang…”
Suara itu hanya di dalam hatinya.
“Nara akan menikah, Bang. Maafkan karena aku menikah dengan seorang tentara, dengan orang yang dulu mungkin ingin Abang bunuh. Tapi dia baik, Bang. Aku bahagia bersamanya. Maaf, aku tak sempat bilang minta maaf waktu itu.”
Air mata Senara menetes. Dan ia mengusapnya cepat-cepat sebelum orang lain sempat melihat.
“Tapi Abang juga yang bilang, aku harus hidup dengan baik. Renji... dia adalah hidupku yang baru. Jadi aku janji… aku akan hidup dengan baik. Seperti pesanmu dulu.”
Ia juga ingat kedua orang tuanya. Ibunya, wanita Dayak yang kuat. Ayahnya, pedagang Melayu yang lembut. Mereka pasti bangga melihat desa ini, menerima Renji dengan hati terbuka.
Renji yang baru datang bersama para pemuda, duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan Senara. Gadis itu sempat terkejut.
“Kenapa Nara-chan?” tanya Renji lembut.
Senara menunduk sebentar, lalu menatap wajah Renji. “Aku… aku hanya memikirkan Bang Zaffar. Dan Emak Abah,” bisiknya dengan mata basah. “Aku berharap mereka bisa melihat ini.”
Renji mengeratkan genggaman. “Mereka melihatnya, Nara-chan. Mereka melihatnya dari bintang-bintang.
***
Pagi hari keempat.
Upacara pernikahan diadakan sederhana di halaman Radakng. Tidak ada panggung mewah, hanya tenda dari daun nipah. Renji mengenakan kemeja Melayu putih yang dijahit oleh ibu-ibu desa, tampak gagah namun lembut. Senara mengenakan Baju Kurung Melayu berwarna senada dengan manik-manik sederhana.
Penghulu duduk di depan, didampingi oleh Apa’ Bide dan Ustadz Rahman.
Renji menggenggam tangan Penghulu. Matanya mencari Senara. Ia mengulang kalimat akad dalam bahasa Melayu, suaranya mantap dan penuh janji.
“Saya terima nikahnya Senara binti Mahzan dengan mas kawin berupa sehelai kain tenun dan peralatan dapur sederhana... dibayar tunai.”
Seketika, suasana hening.
Lalu, tepuk tangan pecah, dipimpin oleh Ero yang berteriak paling keras.
“SAH!”
Suara itu disambut gemuruh doa. Senara dan Renji saling pandang. Di hadapan Tuhan dan semua saksi—Dayak dan Melayu—mereka resmi menjadi suami istri.
“Wah! Akhirnya Sensei tamat masa bujang!”
Lukas tersenyum lebar. “Kau resmi kehilangan kebebasan, Sensei.”
Jau menulis cepat di papan kayu kecil. ‘Hari ini, sejarah baru tercipta.’
Senara menunduk, pipinya memanas. Renji menatapnya sebentar, cukup untuk membuat jantungnya berpacu tak beraturan.