Uwe’ Lami datang menghampiri mereka, menggendong Haruki yang sudah terlelap pulas. Haruki tampak begitu tenang di gendongan neneknya.
“Anak ini sudah lelap, Nara. Dia tahu hari ini hari besar orang tuanya,” ujar Uwe’ Lami sambil tersenyum hangat.
Senara menerima Haruki. Bayi itu adalah mahar hidup mereka. Ia mendekapnya erat, membiarkan wajah mungil Haruki bersandar di bahunya.
Renji mengulurkan tangan kanannya, meraih tangan Senara yang bebas, sekaligus menyentuh lembut punggung Haruki. Keluarga kecil itu kini lengkap.
Mereka mulai melangkah perlahan, meninggalkan keramaian, menuju pondok baru yang menunggu di kejauhan.
Lukas, yang sedang membereskan sisa piring, tersenyum lebar melihat mereka. Namun, tentu saja, momen ini tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh Ero. Pemuda itu menyusul langkah mereka dengan cengiran khasnya.
“Selamat jalan, Sensei!” seru Ero, nadanya dilebih-lebihkan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah ingin menyampaikan pesan rahasia, padahal seluruh desa bisa mendengarnya.
“Sensei, jangan lupa tidur! Bukan Cuma ayam yang bangun pagi, pengantin baru juga!”
Renji seketika berhenti, wajahnya memerah karena malu. Ia hanya bisa tersenyum terpaksa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Senara, meskipun malu setengah mati, tidak bisa menahan tawa renyahnya. Ia buru-buru mencubit pelan lengan Renji, lalu menarik suaminya itu agar berjalan lebih cepat.
Mereka pun bergegas menjauhi Radakng, menghilang di antara pepohonan yang mulai gelap. Tawa geli Lukas terdengar samar-samar di belakang mereka, berpadu dengan suara jangkrik yang mulai mengisi malam.
Renji dan Senara tidak melihat ke belakang. Fokus mereka hanya pada cahaya redup lampu minyak yang menuntun mereka menuju rumah pertama mereka, dan malam pertama mereka.
***
Senja telah lama meredup, berganti pekatnya malam yang dihiasi miliaran bintang. Udara sejuk hutan menyambut Renji dan Senara saat mereka tiba di pondok baru mereka. Pondok kecil itu kini terasa hangat, berbau kayu ulin yang baru dipasang, dan daun wangi yang diletakkan Senara di sudut ruangan.
Cahaya lampu minyak dari luar menembus kisi-kisi jendela, memantul di permukaan lantai tanah liat yang telah dirapikan.
Renji meletakkan lampu minyak di meja kayu. Cahayanya yang lembut menciptakan siluet di dinding yang terbuat dari papan baru. Haruki sudah tidur nyenyak di ayunan kayu yang digantung di dekat kamar.
Senara masih mengenakan Kimono putih gading itu. Keindahannya membuat Renji tidak bisa melepaskan pandangan. Ia duduk di hadapan Senara, membiarkan matanya menjelajahi setiap detail Kimono, setiap jahitan yang melambangkan janji yang telah ia penuhi. Senara tersipu, pipinya merona.
“Apa... kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya pelan tanpa berani menatap balik.
Renji hanya tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangan, merapikan sedikit helai rambut Senara yang terlepas dari sanggulnya.
“Rambutmu belum sepenuhnya rapi,” gumamnya, lembut sekali.
Senara hanya menunduk, bibirnya menahan senyum gugup. Ia bisa merasakan napas Renji menerpa wajahnya, hangat, menenangkan, sekaligus membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Renji lalu meraih sesuatu dari saku bajunya—kanzashi kecil dari kayu yang diukirnya selama berhari-hari. Ukiran bunga di ujungnya belum sempurna, tapi Renji membuatnya dengan hati-hati, seolah setiap goresan menyimpan doa yang tak terucap.
“Ada yang kurang,” bisiknya.