Suatu sore, saat Renji sedang sibuk mengukir patung kecil di teras, Senara menghampirinya. Haruki sedang tidur di ayunan, dan suasana pondok sedang hening.
Senara mengambil posisi di samping Renji, menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu. Ia melihat hasil ukiran Renji, lalu dengan iseng, ia mulai bergumam.
“Ohayou gozaimasu,” bisik Senara, dengan logat Melayu yang kental dan sedikit dibuat-buat.
Renji terkejut, hampir menjatuhkan pahatnya. Ia menoleh cepat ke arah Senara, lalu tertawa terbahak-bahak.
“Ohayou gozaimasu? Nara-chan... ini sudah sore, matahari sudah hampir tenggelam. Kau mau menggodaku?” balas Renji, sambil mencubit hidung Senara gemas.
Senara malah menyeringai. “Aku hanya ingin coba. Misalnya ini... Arigatou.”
Renji tersenyum lebar. “Sejak kapan kau jadi mata-mata, hmm? Dari mana kau tahu kata-kata itu?”
“Dari Otou-san!” goda Senara, menunjuk Renji dengan matanya. “Aku sering mendengarmu bicara begitu pada Haruki. Dan kau, Renji… terlalu sombong kalau pikir aku tidak memperhatikan.”
Renji tertawa panjang, menepuk kepala Senara lembut. “Jadi kau menguping pelajaran untuk Haru-chan, ya? Aduh… curang sekali.”
Senara tersenyum nakal, matanya berbinar. “Kalau begitu, kenapa kau tidak mengajar aku juga? Tidak adil, Renji. Kau fasih sekali berbahasa Melayu, sedangkan aku tidak tahu apa-apa tentang bahasamu. Padahal, kau bilang mau membawaku ke Jepang.”
Senara berdiri, menyilangkan tangan di dada, berpura-pura kesal. “Aku tidak mau nanti di Jepang, Ibu mertuaku mengajak bicara, dan aku cuma bisa balas Arigatou!”
Renji bangkit, tawanya tak berhenti. Ia melangkah mendekat, memeluk Senara dari belakang, dan menenggelamkan wajahnya di rambut Senara.
“Gomen nasai, Okaa-san,” bisik Renji, menggunakan panggilan yang baru saja mereka sepakati.
Senara masih berlagak memasang wajah masam. “Harusnya kau mengajariku juga, Tuan Takeyama!”
Renji membalikkan tubuh Senara, menatapnya dalam-dalam dengan kilatan nakal di mata. “Aku mau saja mengajarimu,” katanya, suaranya berubah rendah dan menggoda. “Tapi, kau tahu, bayaran untuk seorang guru bahasa asing yang handal itu sangat mahal, Nara-chan.”
Senara membalas tatapan itu, senyumnya melengkung misterius, penuh janji yang belum terucap. Ia mengangkat tangannya, menyelipkan jari-jarinya ke rambut Renji yang tebal, menarik wajah pria itu semakin dekat.
“Bayaran?” bisik Senara, bibirnya nyaris menyentuh bibir Renji. “Aku tidak punya uang… tapi aku janji, bayaran ini akan membuatmu senang, Sensei Renji.”
Napas Renji tercekat. Tawa dan gairah adalah kelemahan terbesarnya.
“Sepakat,” bisik Renji, tanpa ragu. Ia mencium Senara dengan penuh semangat. “Kita mulai belajar besok pagi. Dan bayarannya, akan kutagih setiap malam.”
Maka, pelajaran bahasa Jepang pun dimulai. Pagi hari adalah sesi teori, dan malam hari adalah sesi praktik—dan penagihan "bayaran" yang Senara janjikan. Setiap malam, setelah Haruki tertidur pulas, mereka akan duduk bersama di lantai pondok, ditemani cahaya lampu minyak. Buku dan gulungan kertas terbuka di hadapan.